Tampilkan postingan dengan label kota. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kota. Tampilkan semua postingan

Rabu, November 14, 2007

Protes Busway di Pondok Indah: NIMBYism ala Jakarta?

Pembangunan jaringan transportasi publik Transjakarta, atau yang lebih dikenal sebagai busway sudah dimulai sejak tahun 2004. Sejak itu cukup banyak perdebatan tentang keberadaan busway di Jakarta, sebagian mendukung, kebanyakan apatis. Namun baru belakangan ini busway menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari, dan baru belakangan ini kita membaca dan mendengar protes keras berkaitan dengan pembangunan jalur busway, yang diprakarsai oleh penduduk Pondok Indah, dan diikuti oleh penduduk Pluit.

Yang ingin saya bahas adalah, kenapa setelah tiga tahun lebih, dan kenapa di Pondok Indah dan Pluit yang notabene adalah daerah perumahan elit di Jakarta?

Menjawab pertanyaan pertama adalah pembangunan jalur busway kali ini diadakan secara serentak, sehingga mempengaruhi daya tampung jalan-jalan yang sudah penuh sesak di Jakarta secara signifikan. Mungkin tidak ada penduduk Jakarta yang tidak terpengaruhi sama sekali oleh pembangunan jalur busway, sehingga hampir setiap hari kita dengar pembicaraan yang menyangkut busway – yang cenderung penuh dengan kritikan.


Padahal, beberapa hari yang lalu saya perhatikan bahwa pembangunan jalur busway di Jalan Panjang juga disertai dengan perbaikan jalur pedestrian di kedua sisi jalan. Dan apabila sistem transportasi publik ini berjalan dengan baik, tidak tertutup kemungkinan bagi pengguna kendaraan pribadi untuk berubah menjadi pengguna transportasi publik.

Namun sayangnya pembangunan jalur busway belum disertai oleh pembentukan sistem pendukungnya (seperti feeder dan tempat-tempat parkir yang memungkinkan terjadinya transfer antar-moda transportasi) yang memudahkan pengguna kendaraan pribadi untuk berubah menjadi pengguna kendaraan umum.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, yaitu kenapa dari seluruh penduduk Jakarta yang daerahnya dilewati oleh jalur busway, protes terhadap pembangunan ini dimulai justru di Pondok Indah?

Pertanyaan tersebut membawa ingatan saya kepada tulisan Mike Davis tentang Los Angeles, yang dalam pandangan saya memiliki banyak kesamaan dengan Jakarta. Dalam City of Quartz (1990), Davis memberikan pengantar pada buku terbitan tahun 2006, yang mencantumkan tujuh permasalahan yang terjadi sejak 1990 sampai 2006 di Los Angeles, yaitu: Kemacetan yang parah, larinya modal dari kota, berkurangnya lapangan pekerjaan, semakin jauhnya rentang perbedaan antar-kelompok sosial ekonomi dalam masyarakat, segregasi masyarakat secara sosial dan fisik, meningginya tingkat kejahatan dan kekerasan, dan munculnya kekuatan organisasi masyarakat (Davis, 2006: v-xviii).

Berkaitan dengan organisasi masyarakat di Los Angeles, Davis mengemukakan sebuah argumentasi yang sangat komprehensif dalam isi bukunya. Dalam pandangan Davis, masyarakat menengah ke atas sangat berpengaruh dalam pembentukan kota Los Angeles, dan merupakan penggerak yang paling efektif dalam perlawanan terhadap pembangunan, khususnya yang di Amerika Serikat dikenal sebagai gerakan NIMBY – not in my back yard. Dalam bagian pembukaan bab “Homegrown Revolution”, yang membahas secara khusus mengenai masyarakat menengah ke atas Los Angeles, Davis menulis:

fakta pertama: Pemilik rumah di Los Angeles, … mencintai anak-anak mereka, tapi mereka lebih mencintai nilai properti mereka.

fakta kedua: ‘Komunitas’ di Los Angeles berarti kesamaan ras, kelas dan, yang terutama, nilai rumah.

fakta ketiga: ‘Gerakan sosial’ yang paling berpengaruh dalam sejarah kontemporer California Selatan adalah yang dilakukan oleh pemilik rumah yang mampu, …

(Davis, M. (2006: 153).

Apakah protes pembangunan jalur busway di Pondok Indah merupakan sebuah awal gerakan NIMBY ala Jakarta?

Minggu, September 30, 2007

Pemberantasan Kemiskinan: Antara Kesan dan Kenyataan

Dalam perjalanan menuju sebuah universitas untuk menjadi reviewer untuk sebuah studio perancangan arsitektur, saya mendengarkan siaran radio yang membahas mengenai komisi khusus apa yang semestinya dibentuk oleh Presiden SBY sekembalinya dari kunjungan ke Amerika. Cukup banyak pemirsa yang mengajukan ide-ide pembentukan komisi khusus pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi.

Yang menarik perhatian saya adalah penggunaan kata pemberantasan dalam kaitannya dengan kemiskinan dan korupsi, dan kemungkinan pengartiannya. Arti pemberantasan adalah peniadaan, pembasmian. Yang bagi saya menjadi permasalahan adalah pada saat pemberantasan korupsi dan pemberantasan kemiskinan disamaratakan artinya dengan pemberantasan hama.

Apabila obyek pemberantasan adalah hama, maka tujuannya adalah untuk meniadakan dan membasmi hama, yang cara-caranya diharapkan dapat berakhir dengan kematian hama. Dalam konotasi yang sama, pemberantasan korupsi bertujuan meniadakan dan membasmi praktek-praktek korupsi dan pelaku-pelaku korupsi. Namun apakah diharapkan berakhir dengan kematian pelaku-pelaku korupsi? Mungkin sebagian orang akan berpendapat ya, dan sebagian lain berpendapat tidak – dan disinilah perdebatan terjadi.

Lalu bagaimana dengan pemberantasan kemiskinan? Apakah pemberantasan kemiskinan bertujuan meniadakan dan membasmi praktek-praktek yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, ataukah justru meniadakan, membasmi, atau bahkan mematikan orang-orang miskin?

Ya, apabila kata pemberantasan disamaratakan artinya terlepas dari obyek yang menspesifikkan predikat pemberantasan, terlepas dari apa atau siapa dan bagaimana cara peniadaan, pembasmian, dan pematian itu dilangsungkan.

Lalu apa masalahnya? – mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya. Bukankan masalah pemberantasan kemiskinan dapat secara harafiah diartikan sebagai peniadaan dan pembasmian kemiskinan dengan melangsungkan undang-undang yang melarang keberadaan orang-orang miskin di kota (dengan tujuan untuk mematikan mereka)? Apakah ini bentuk pemberantasan kemiskinan yang diharapkan masyarakat Indonesia? Saya harap tidak.

Melarang keberadaan orang-orang miskin di kota tidak menyelesaikan masalah.

Salah satu mahasiswa dalam studio perancangan arsitektur yang saya review, menggunakan undang-undang larangan tinggal di sepanjang rel kereta api sebagai pembenaran untuk menyingkirkan keberadaan komunitas ilegal di daerah tersebut karena toh mereka dilarang oleh pemerintah dan hanya menunggu waktu untuk digusur.

Mentalitas dan moralitas semacam ini yang bagi saya sangat mengkhawatirkan, bukan saja karena sikap seperti ini sangat menggampangkan permasalahan, namun yang terutama karena penyelesaian permasalahan hanya ditujukan pada kesan terselesaikannya masalah kemiskinan, bukan pada kenyataan bahwa masalah kemiskinan memang sudah terselesaikan. Dengan upaya mencapai kesan, kenyataan permasalahan yang sebenarnya disembunyikan, seakan-akan tidak ada.

Saya jadi teringat apa yang disebutkan oleh Somsook Boonyabancha dalam lokakarya yang dilangsungkan bulan Juli lalu oleh Institute for Ecosoc Rights. Beliau menyatakan bahwa dinamika perubahan masyarakat dan permasalahannya muncul lebih cepat daripada solusi dan sistem dapat ditemukan dan dibentuk.

Bukankah sangat mungkin untuk menggunakan jeda ruang dan waktu antara kenyataan dan harapan maupun peraturan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan dengan menyediakan ruang bagi keberadaan orang miskin di kota?

Saya rasa sangat mungkin. Yang dibutuhkan adalah sikap untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada semua orang, dan upaya untuk menyelesaikan masalah secara nyata, sampai ke akarnya. Bukan sekedar kesan bahwa ada upaya penyelesaian masalah kemiskinan (atau korupsi) namun sebenarnya hanya menyembunyikan kenyataan. Seperti api dalam sekam, permasalahan kemiskinan terus membakar perlahan-lahan di bawah permukaan, sampai tiba-tiba ia membara dengan penuh amarah. Apakah ini yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia? Saya harap tidak.


Catatan Foto: Komunitas ilegal Wat Chong Leom yang tinggal di sepanjang rel kereta api di Bangkok. Setelah berjuang selama beberapa tahun dengan bantuan Four Regions Slum Network, mereka keberadaan mereka pada akhirnya diakui dan difasilitasi oleh negara.

Senin, September 03, 2007

Memaknai Kota

Dalam "Kota, Waktu, Puisi" (2007), Goenawan Mohamad menuliskan keterkaitan antara ketiga elemen tersebut, dengan mengkaji puisi Chairil Anwar: “… ada yang jadi rutin dalam sebuah keadaan di mana apa yang alamiah dan purba (hujan dan Ajal) telah kehilangan pesonanya di antara benda-benda teknologi (trem, lampu jalan), yang juga ditongkrongi sebuah tata yang sudah pasti (dengan halte sebagai penanda)."

Henri Lefebvre, dalam "Production of Space" (1991), mengamati bahwa "salah satu akibat dari ruang (sosial) sebagai produk (sosial) adalah kenyataan bahwa ruang (fisik) alamiah menjadi hilang, tidak hanya dari pandangan, tapi juga dari pemikiran" (hlm. 31-32).

Mungkinkah karena ini keberadaan di kota menjadi kurang bermakna sehingga makna kota harus dicari dan bahkan dicari-cari? Ketika lingkungan berkehidupan (di kota) merupakan sebuah lansekap hasil konstruksi dan pemikiran manusia, bukankah manusia pula yang kemudian harus memaknai perbuatannya?

Disinilah kemudian muncul berbagai kepentingan. Perbuatan siapakah yang patut dimaknai? Apakah perbuatan para perencana? Ataukah pemerintah maupun klien yang memprakarsai dan membiayai pembangunan? Lalu bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang justru menggunakan ruang yang terbangun - dan kadang malah meninggalkan keterbangunan yang telah direncanakan (karena, kembali mengutip Mohammad, "sebuah peta adalah sebuah hasil reduksi, dan sebuah rencana selalu mengandung represi”) untuk memaknai ketidaksengajaan yang terjadi diantara keterbangunan-keterbangunan?

Catatan: Foto di atas adalah dekorasi sebuah fasade bangunan, yang sepertinya memiliki fungsi untuk mengkaitkan lampu gantung, namun yang kemudian dialihfungsikan menjadi tempat untuk mengamankan botol minum milik pedagang kaki lima yang berjualan di depan bangunan.