Minggu, September 30, 2007

Pemberantasan Kemiskinan: Antara Kesan dan Kenyataan

Dalam perjalanan menuju sebuah universitas untuk menjadi reviewer untuk sebuah studio perancangan arsitektur, saya mendengarkan siaran radio yang membahas mengenai komisi khusus apa yang semestinya dibentuk oleh Presiden SBY sekembalinya dari kunjungan ke Amerika. Cukup banyak pemirsa yang mengajukan ide-ide pembentukan komisi khusus pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi.

Yang menarik perhatian saya adalah penggunaan kata pemberantasan dalam kaitannya dengan kemiskinan dan korupsi, dan kemungkinan pengartiannya. Arti pemberantasan adalah peniadaan, pembasmian. Yang bagi saya menjadi permasalahan adalah pada saat pemberantasan korupsi dan pemberantasan kemiskinan disamaratakan artinya dengan pemberantasan hama.

Apabila obyek pemberantasan adalah hama, maka tujuannya adalah untuk meniadakan dan membasmi hama, yang cara-caranya diharapkan dapat berakhir dengan kematian hama. Dalam konotasi yang sama, pemberantasan korupsi bertujuan meniadakan dan membasmi praktek-praktek korupsi dan pelaku-pelaku korupsi. Namun apakah diharapkan berakhir dengan kematian pelaku-pelaku korupsi? Mungkin sebagian orang akan berpendapat ya, dan sebagian lain berpendapat tidak – dan disinilah perdebatan terjadi.

Lalu bagaimana dengan pemberantasan kemiskinan? Apakah pemberantasan kemiskinan bertujuan meniadakan dan membasmi praktek-praktek yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, ataukah justru meniadakan, membasmi, atau bahkan mematikan orang-orang miskin?

Ya, apabila kata pemberantasan disamaratakan artinya terlepas dari obyek yang menspesifikkan predikat pemberantasan, terlepas dari apa atau siapa dan bagaimana cara peniadaan, pembasmian, dan pematian itu dilangsungkan.

Lalu apa masalahnya? – mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya. Bukankan masalah pemberantasan kemiskinan dapat secara harafiah diartikan sebagai peniadaan dan pembasmian kemiskinan dengan melangsungkan undang-undang yang melarang keberadaan orang-orang miskin di kota (dengan tujuan untuk mematikan mereka)? Apakah ini bentuk pemberantasan kemiskinan yang diharapkan masyarakat Indonesia? Saya harap tidak.

Melarang keberadaan orang-orang miskin di kota tidak menyelesaikan masalah.

Salah satu mahasiswa dalam studio perancangan arsitektur yang saya review, menggunakan undang-undang larangan tinggal di sepanjang rel kereta api sebagai pembenaran untuk menyingkirkan keberadaan komunitas ilegal di daerah tersebut karena toh mereka dilarang oleh pemerintah dan hanya menunggu waktu untuk digusur.

Mentalitas dan moralitas semacam ini yang bagi saya sangat mengkhawatirkan, bukan saja karena sikap seperti ini sangat menggampangkan permasalahan, namun yang terutama karena penyelesaian permasalahan hanya ditujukan pada kesan terselesaikannya masalah kemiskinan, bukan pada kenyataan bahwa masalah kemiskinan memang sudah terselesaikan. Dengan upaya mencapai kesan, kenyataan permasalahan yang sebenarnya disembunyikan, seakan-akan tidak ada.

Saya jadi teringat apa yang disebutkan oleh Somsook Boonyabancha dalam lokakarya yang dilangsungkan bulan Juli lalu oleh Institute for Ecosoc Rights. Beliau menyatakan bahwa dinamika perubahan masyarakat dan permasalahannya muncul lebih cepat daripada solusi dan sistem dapat ditemukan dan dibentuk.

Bukankah sangat mungkin untuk menggunakan jeda ruang dan waktu antara kenyataan dan harapan maupun peraturan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan dengan menyediakan ruang bagi keberadaan orang miskin di kota?

Saya rasa sangat mungkin. Yang dibutuhkan adalah sikap untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada semua orang, dan upaya untuk menyelesaikan masalah secara nyata, sampai ke akarnya. Bukan sekedar kesan bahwa ada upaya penyelesaian masalah kemiskinan (atau korupsi) namun sebenarnya hanya menyembunyikan kenyataan. Seperti api dalam sekam, permasalahan kemiskinan terus membakar perlahan-lahan di bawah permukaan, sampai tiba-tiba ia membara dengan penuh amarah. Apakah ini yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia? Saya harap tidak.


Catatan Foto: Komunitas ilegal Wat Chong Leom yang tinggal di sepanjang rel kereta api di Bangkok. Setelah berjuang selama beberapa tahun dengan bantuan Four Regions Slum Network, mereka keberadaan mereka pada akhirnya diakui dan difasilitasi oleh negara.

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Mungkin kata yang tepat bukan pemberantasan, tapi pengentasan.

Sama seperti program KIP jaman dulu yang seperti pedang bermata dua, disatu sisi memperbaiki kampung kota, namun disisi lain seakan mengundang masyarakat desa untuk datang ke kota. Tokh akhirnya kampung ilegal dan penduduk ilegal itu menjadi legal.
IMHO, beban tak selalu ada di pemerintah Jakarta. Ketidakbecusan daerah-daerah penyumbang pendatang ilegal pun bisa menjadi satu penyebab kemiskinan kota.

Dewi Susanti mengatakan...

Halo Elisa,

Saya setuju bahwa kata yang lebih tepat adalah pengentasan kemiskinan. Namun dalam prakteknya banyak kerancuan kata yang sering terjadi dalam penggunaannya, dan dalam masyarakat kita lebih sering mendengar penggunaan istilah pemberantasan kemiskinan dibandingkan pengentasan kemiskinan.

Saya juga setuju beban tidak hanya ada di pemerintah Jakarta, tapi sangat berkaitan dengan pengadaan pekerjaan dan perkembangan secara umum dari daerah-daerah luar Jakarta sehingga mampu menjadi faktor-faktor penahan (pull factor) keberadaan di tempat asal.

Saya sedikit tergelitik dengan komentar Anda "tokh akhirnya kampung ilegal dan penduduk ilegal menjadi legal" dan bertanya-tanya mengenai pendapat (dan mungkin posisi) Anda dalam permasalahan ini.

KIP termasuk salah satu program pengentasan kemiskinan yang dianggap cukup berhasil sehingga pada masanya banyak dijadikan contoh untuk penanganan permukiman miskin kota di negara-negara lain, salah satunya di Thailand.

Namun dalam pandangan saya, karena pendekatan ini tidak disertai dengan perkembangan di daerah-daerah pedesaan atau kota menengah lain, maka Jakarta tetap mempunyai faktor penarik yang dianggap lebih menjanjikan.

Sementara di Thailand, program pengembangan komunitas miskin di Bangkok diimbangi dengan program-program pengembangan daerah-daerah pedesaan, dan diorganisir secara sentral oleh pemerintah Thailand melalui CODI dengan Program Bann Mankong.

Anonim mengatakan...

IMHO: Memang program KIP itu bagus dan banyak manfaatnya. Tapi kalau kita runut2 lagi, darimana kah asal kampung kumuh dan penduduknya itu? Kampung kumuh itu bukannya tak mungkin menempati lahan tak bertuan, bantaran kereta api, pinggir sungai, dll. Begitu pemerintah masuk dengan program KIP nya ke kampung itu, seakan pemerintah 'mengakui' keberadaan kampung itu. Ini hanya pemikiran saya saja sih. Akhirnya sesuatu yang ilegal pun menjadi legal.

Salah seorang teman saya melakukan studi DCBA (fyi. sustainability method) terhadap KIP. Ternyata setelah dirunut, penghuni KIP masih memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan, dan lokasi pembuangannya tak lain tak bukan ya di saluran pembuangan yang sudah dibuat oleh pemerintah dengan dana World Bank itu, dan sungai. Akhirnya kebanyakan dari kampung produksi KIP itu menjadi kumuh lagi, dan langganan banjir, sarang penyakit dan pencemaran air. Dan teman saya itu menyimpulkan, masalah yang muncul pada setelah KIP adalah tidak adanya koordinasi yang baik dalam hal pemeliharaan dan pengoperasian manajemen kampung tersebut.

Dewi Susanti mengatakan...

Dari studi-studi yang saya baca, sebagian besar kampung di Jakarta sudah ada dari sejak jaman penjajahan Belanda dulu, dan dari dulu juga sudah dicap dengan berbagai macam stigma. Sejak jaman kemerdekaan, banyak sekali penduduk kampung yang pada mulanya memiliki tanah untuk berkebun, tapi status jual beli tanah tidak pernah terjadi secara legal. (Sekarang, permasalahan kepemilikan tanah adat masih terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam “Tales from Djakarta” banyak menceritakan tentang permasalahan yang muncul pada awal jaman kemerdekaan berkaitan dengan masalah ini. Michael Leaf menulis disertasi yang membahas tentang masalah kerumitan status tanah di Jakarta kalau Anda tertarik.)

Dalam pandangan saya, kompleksitas sejarah ini banyak tidak diketahui oleh masyarakat Indonesia, karena pemerintah kita tetap mengikuti sikap pemerintah penjajahan Belanda dalam men-stigma-kan masyarakat yang tinggal di kampung ilegal sebagai orang yang “menempati tanah tak bertuan”. Padahal dari sudut pandang runtutan sejarah, keberadaan penduduk kampung di Jakarta lebih lama dibandingkan keberadaan pemerintah Indonesia. Disinilah letak perdebatan, siapakah sebenarnya pemilik yang sah, secara de facto atau de jure?

Permasalahannya menjadi lebih kompleks berkaitan dengan urbanisasi, dimana migran-migran baru datang dari daerah dan membaur dengan mereka yang sudah lama sekali tinggal di Jakarta. Karena tidak adanya tempat tinggal yang dapat dijangkau harganya oleh masyarakat migran baru, sebagian besar memang kemudian terpaksa mencari tempat-tempat tidak bertuan, atau yang disebut Romo Sandyawan Sumardi, tokoh hak asasi manusia, sebagai ruang sisa.

Masalah seperti yang terjadi di Jakarta juga banyak terjadi di kota-kota metropolitan negara-negara sedang berkembang lainnya, dan cara pendekatan dan penanganan masalahnya juga berbeda-beda dan sangat tergantung dari sikap pemerintah. Cukup banyak yang mengambil sikap seperti pemerintah Indonesia, dalam arti taat asas pada hukum secara de jure (terlepas dari pertanyaan apakah sistem hukum itu sendiri dapat dipercaya adil atau tidaknya). Disinilah mungkin terobosan yang dilakukan oleh CODI melalui Program Baan Mankong tertulis pada komentar sebelumnya. Dalam sebuh wawancara dengan Somsook Boonnyabancha, Direktur CODI, beliau menyatakan bahwa hukum sebagai sebuah sistem membutuhkan waktu lama untuk berubah (di Indonesia, sebagian hukum masih merupakan warisan jaman Belanda). Sementara perubahan masyarakat terjadi lebih cepat, dan tidak dapat menunggu untuk dukungan sebuah hukum. Sebagai orang pemerintahan, Somsook merupakan pribadi yang cukup unik, karena beliau justru yakin perubahan sistem masyarakat, terutama yang berkaitan dengan masalah perumahan menengah ke bawah, hanya bisa terjadi berkat tuntutan masyarakat. Dari pengamatan di lapangan yang saya sempat tinjau di Bangkok, justru dari proses semacam ini masyarakat miskin dapat diberdayakan, karena mereka terpaksa membenahi diri sendiri (dengan membersihkan lingkungan, daur ulang sampah, sampai membuat kelompok simpan pinjam) agar dapat memperkuat posisi mereka dalam bernegosiasi dengan pemerintah dan pihak swasta.

Memang harus diakui, kebiasaan masyarakat kita (buang sampah sembarangan, belum memiliki kesadaran dalam mengikuti peraturan-peraturan, dll.) masih jauh dari kebiasaan yang seharusnya terjadi dalam kehidupan masyarakat modern. Tapi apabila kita melihat sejarah kota-kota di negara maju pun, tadinya juga banyak dipenuhi oleh slum, dengan kebiasaan masyarakatnya yang masih dianggap tidak sesuai dengan perkembangan yang diharapkan seiring dengan fisik kotanya. Saya rasa butuh waktu untuk merubah kebiasaan yang kurang sesuai dengan tanggung jawab dan kebersamaan dalam berkehidupan (bukan saja di kota saya rasa). Dan saya merasa pendekatan dan penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan secara sepihak, namun membutuhkan kerja sama dari semua pihak yang terlibat, termasuk masyarakatnya sendiri.

Anonim mengatakan...

Saya setuju, batasan antara de facto dan de jure cukup membingungkan. Saya pernah terlibat diskusi panjang dengan ayah saya yang praktisi hukum, mana yang lebih diutamakan antara 2 itu di Indonesia ini. Sepengetahuan saya (maafkan pengetahuan hukum saya yang hanya berasal dari dokter gigi yang tiba-tiba berubah jadi praktisi hukum), de facto ada karena tidak ada aturan hukum yang relevan dan berlaku saat itu. Tapi begitu sudah ada law, maka de jure yang berbicara. Tapi pada akhirnya kita berhadapan lagi pada satu hal lagi, yaitu hak asasi manusia.

Persoalan tentang tanah memang sudah menjadi masalah klasik. Namun apabila kita berbicara masa kini, apakah yang perlu dilakukan pada kemiskinan baru atau slum baru?

Paragraf ibu yang terakhir juga saya setuju. Pemberdayaan masyarakat dan keterlibatan masyarakat memang memegang peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan (seperti yang banyak dilakukan dalam proyek-proyek UN Habitat).
Saya akan coba mencari lebih dalam tentang proyek Bann Mankong (atau ibu bisa memberi referensi web?). Selama ini saya hanya mengakrabi proyek2 dari Habitat dan slum networking di India.

Dewi Susanti mengatakan...

Dalam pandangan saya, isu hak asasi manusia perlu mendapatkan perhatian lebih. Tanpa adanya pengakuan terhadap pernyataan bahwa semua orang semestinya mempunyai hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak (dimana pun dia memilih untuk tinggal), maka kota menjadi sangat berpihak terhadap mereka yang mampu saja. Apakah ada operasi yustisi untuk pendatang-pendatang baru dari kelompok ekonomi menengah ke atas? Saya juga pendatang di Jakarta, tapi saya tidak pernah khawatir dengan operasi yustisi, karena mendapatkan KTP Jakarta buat saya bukanlah hal yang sulit.

Sikap pemerintah sangat penting dalam menangani permasalahan kemiskinan. Yang sering diperdebatkan oleh NGO adalah sikap pemerintah yang ambigu. Di satu sisi memberikan akses listrik, air, MCK, membentuk RT, RW, dan mengambil pungutan untuk masyarakat yang ilegal; tapi di lain pihak ancaman penggusuran sering terdengar. Untuk kampung-kampung yang sudah cukup lama ada, biasanya status quo ini yang dipertahankan.

Yang juga sering dipermasalahkan oleh NGO adalah perlakuan pemerintah yang lebih mendukung kekuatan modal. Studi yang dilakukan oleh Institut Sosial Jakarta mencatat banyak sekali kasus dimana lahan hijau dan DAS boleh dikembangkan oleh pihak-pihak swasta dan pemerintah (gedung dan pom bensin), sementara ini adalah praktek yang terlarang untuk masyarakat miskin. Ketidakadilan dan keberpihakan pemerintah inilah yang sering dikritik.

Sementara dari penelitian yang saya lakukan di Bangkok, dalam sebuah kasus sengketa tanah antara masyarakat dan pemilik tanah swasta (Kasus Komunitas Wang Lee), walaupun pada akhirnya masyarakat tidak dapat mempertahankan tempat tinggal mereka selama puluhan tahun, sikap pemerintah dalam hal ini adalah sebagai penengah yang memaksa pihak swasta untuk bertemu dengan masyarakat sehingga memungkinkan terjadinya negosiasi.

Informasi tentang Program Bann Mankong dapat dirujuk melalui hyperlink yang saya sertakan pada komentar pertama saya, atau dapat juga dicari melalui Google.

Anonim mengatakan...

Sebetulnya operasi yustisi itu mungkin juga terjadi di golongan menegah keatas. Terus terang, saya pernah terjaring di operasi itu, ketika saya baru lulus dari universitas dan bekerja di firma arsitektur. Para polisi tersebut merazia kantor-kantor sekitar, dan saya saya pun kena 'ciduk'. Tapi berkat atasan saya yang memberikan salam tempel untuk pak polisi, akhirnya saya dibebaskan.
Mungkin mereka sebenarnya tidak membeda-bedakan, namun pada akhirnya, materi lah yang menjadi pembedanya.

Nah, sifat pemerintah yang ambigu itulah pedang bermata dua (seperti program KIP itu).
Sepertinya keberpihakan pemerintah pada ekonomi kuat, tidak hanya terjadi disini saja, tapi juga merupakan kejadian sehari-hari diseluruh dunia.

Sebenarnya saya merasa sedikit tergelitik dengan program yang dilakukan oleh Yayasan Budha Tzu Chi di bilangan Kapuk. Walaupun mereka memungut sewa yang demikian murah (sekitar 90rb/bln), namun banyak yang tidak membayar, dan akhirnya mereka kembali ke daerah asal mereka.
Seperti juga Studi tentang Dharavi, ketika pemkot, NGO dan pemuka masyarakat menyediakan rusun gratis dengan radius cukup dekat dengan tempat tinggal sebelumnya, tapi yang ada mereka emoh pindah. Alasannya bermacam-macam, salah satunya mereka sudah terlampau betah ditempat yang lama, untuk apa pindah ke tempat yang baru. Mereka pun tidak begitu peduli dengan kondisi mereka yang kumuh dan terpolusi.

Dewi Susanti mengatakan...

Terima kasih informasinya bahwa Operasi Yustisi ternyata tidak se-'selektif' yang saya kira, walaupun dari cerita Anda, penerapannya memang 'selektif' :)

Pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia memang sulit. Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah saja, karena sering juga teramati kebiasaan masyarakat kita yang masih sangat oportunistik dan belum memiliki kesadaran maupun kebanggaan diri untuk tidak bergantung kepada orang lain. Jadi sulit untuk membaca inti permasalahan yang sebenarnya karena tidak terbacanya kondisi yang sesungguhnya.

Ras Eko mengatakan...

hi, mbak elisa, artikel mbak benar2 membuat berhenti sejenak untuk membacanya sampai habis. benar2 inspiratif. terus berkarya mbak.