Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Jumat, Juli 24, 2009

UU BHP: Peran negara dan pendidik dalam menjaga nilai dan standar PT

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 10 Juli 2009, dengan judul "Sekali Lagi Soal UU BHP."

Sejak UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) disahkan, telah muncul banyak kritik yang pada intinya mengajukan tiga pokok permasalahan: (1) Ketidakberpihakan UU BHP terhadap siswa dari keluarga tidak mampu; (2) Pengurangan tanggung jawab dan komitmen pemerintah terhadap pendidikan; dan (3) Terjadinya komersialisasi pendidikan.

Tiga keberatan yang diajukan tersebut sangat beralasan. Pada jenjang Perguruan Tinggi (PT), sejak UU Badan Hukum Milik Negara (BHMN) disahkan pada tahun 1999, data menunjukkan bahwa antara tahun 1995 dan 2002, biaya yang diperlukan untuk kuliah di ITS naik empat kali lipat (Welch, 2007). Pada tahun 2004, subsidi pemerintah untuk ITB hanya menutup 29% dari biaya operasional. Alhasil, ITB, seperti halnya universitas BHMN lainnya, menawarkan Jalur Khusus bagi 20% dari mahasiswa baru yang kemampuan akademisnya tidak memenuhi standar namun secara finansial mampu membayar lebih mahal (Welch, 2007).

UU BHP yang menggantikan UU BHMN untuk tingkat pendidikan tinggi dan memperluas privatisasi pendidikan ke jenjang pendidikan dasar dan menengah, sebetulnya berupaya menjawab tiga kritik yang diajukan. Untuk PT, UU BHP mengharuskan pengalokasian 20% kursi untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu (pasal 46(1)). Kedua, pemerintah juga menetapkan subsidi sebesar 50% untuk biaya operasional PTN (pasal 41(6)). Ketiga, dalam upaya untuk menghindari terjadinya komersialisasi pendidikan, semua BHP harus didasarkan pada prinsip nirlaba (pasal 4(1)), sementara jumlah total biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah total biaya operasional BHP (pasal 41(8)).

Namun dalam analisa penulis, baik UU BHP maupun kritik terhadap UU BHP mengesampingkan tiga permasalahan mendasar, yaitu: (1) Kurangnya pemahaman mengenai akar permasalahan yang menyebabkan sulitnya siswa dari keluarga tidak mampu untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi; (2) Keterkaitan antara desentralisasi pendidikan dan diperlukannya privatisasi pendidikan; dan (3) Kurangnya penekanan terhadap pentingnya nilai dan standar akademis sebagai salah satu penangkal komersialisasi pendidikan.

Pertama, dari populasi masyarakat yang tergolong miskin di Indonesia (yang berpendapatan dibawah US$2 setiap hari menurut data World Bank tahun 2006 mencapai 42%), hanya 3.3% yang berhasil diterima di tingkat pendidikan tinggi pada tahun 2001 (Efendi, 2003). Ini berarti, tuntutan UU BHP untuk mengalokasikan 20% kursi untuk mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu tidaklah realistis, dan akan mengakibatkan PT untuk mengklaim kelompok mahasiswa yang tidak seharusnya berada dalam kategori ini.

Apabila pemerintah dan kritikus terhadap kebijakan pemerintah secara serius ingin meningkatkan akses ke PT bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, pengalokasian kursi bagi kelompok ini seharusnya dikurangi sehingga berada sedikit diatas jumlah 3.3%. Sebaliknya, alokasi kursi bagi kelompok siswa dari keluarga tidak mampu pada tingkat pendidikan menengah perlu ditingkatkan diatas 20%. Hal ini disebabkan karena studi mengindikasikan bahwa keberhasilan akademis siswa sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi keluarga mereka. Karenanya, upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengaruhnya terhadap kemampuan siswa untuk diterima di PT perlu dimulai pada jenjang pendidikan yang lebih awal, khususnya pada jenjang pendidikan menengah dimana hanya 55% siswa dari keluarga tidak mampu menyelesaikan tingkat pendidikan ini (World Bank, 2006).

Kedua, tuntutan kepada pemerintah untuk menyediakan dan membiayai pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa apabila pemerintah berkomitmen, maka masalah kesenjangan pendidikan akan dapat diatasi. Namun institusi pendidikan negeri pada umumnya dibatasi oleh struktur dan budaya yang hirarkis, birokratis, politis, dan tidak efisien, yang membuat kebanyakan institusi tersebut tidak tanggap terhadap perubahan dan inovasi (Chubb & Moe, 1990; Friedman, 1962). Desentralisasi pendidikan perlu dilaksanakan karena kebutuhan teknis kegiatan pembelajaran menuntut keahlian dan otonomi guru, karena kontrol dan pemantauan akuntabilitas secara administratif sulit dilakukan dari pusat, dan karena masalah yang dihadapi oleh masing-masing institusi pendidikan hanya dapat diidentifikasi dan diselesaikan pada skala lokal (Chubb & Moe, 1990).

Pengadopsian model bisnis di PT bukanlah fenomena baru. Semua PT menawarkan pendidikan sebagai sebuah produk, mereka berupaya untuk membujuk calon mahasiswa, dan menetapkan biaya untuk produk yang ditawarkan (Krachenberg, 1972). Privatisasi pendidikan menuntut institusi pendidikan untuk menjadi lebih kompetitif, dan karenanya lebih efisien, lebih akuntabel, dan lebih berkualitas (Bok, 2003; Ruch, 2001). Privatisasi pendidikan juga memungkinan universitas untuk mengalokasikan dana sesuai dengan keperluan yang dianggap penting oleh universitas (Bok, 2003).

Walaupun demikian, privatisasi juga membawa dampak negatif. Derek Bok, Presiden Emeritus di Universitas Harvard, berpendapat bahwa kebutuhan finansial dan pemenuhan biaya operasional sekolah dapat menyebabkan terjadinya komersialisasi pendidikan, terutama apabila nilai dan standar akademis yang memungkinkan institusi pendidikan untuk mencapai tujuannya dengan tingkat kualitas dan integritas yang tinggi tidak dicanangkan (Bok, 2003: 6).

Privatisasi pendidikan pada dasarnya memberikan peluang bagi pasar bebas untuk ikut ambil bagian dalam pelaksanaan dan pembiayaan pendidikan. Namun ini tidak berarti bahwa nilai dan standar akademis dapat dibiarkan untuk ditentukan oleh pasar. Karenanya, pemerintah perlu menetapkan peraturan yang dapat meregulasi dengan lebih baik tuntutan tingkat kualitas dan integritas akademik yang perlu dijunjung oleh institusi pendidikan.

Dalam tatanan masyarakat moderen, selain pasar dan pemerintah, Friedson (2001) mengajukan peran penting dunia keprofesian yang dapat ikut membentuk arah dan perkembangan sebuah masyarakat. Dalam konteks pembahasan mengenai UU BHP, para pendidik memiliki peran penting untuk menjaga nilai, standar, dan integritas akademik yang sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya komersialisasi pendidikan, mengurangi kesenjangan sosial, dan mengimbangi peran pemerintah dan pasar dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan.

Minggu, April 06, 2008

Hikmah Teladan Laskar Pelangi

Berita-berita di berbagai media massa dari hari ke hari banyak menceritakan tentang keterpurukan pendidikan di Indonesia, sedemikian sehingga tidak jarang muncul sebuah pertanyaan: Masih adakah harapan bagi kemajuan pendidikan Indonesia? Dua hal yang saya alami selama dua minggu belakangan ini memberikan secercah jawaban positif: Kunjungan saya ke Sekolah Dasar Hikmah Teladan (SDHT) di Cimahi, dan kesempatan untuk membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Di SDHT, saya melihat bagaimana anak-anak kelas 3 telah paham perbedaan antara sampah organik dan anorganik dan bahkan berkampanye ke adik-adik kelas mereka untuk memilah sampah. Beberapa anak yang sedang mengumpulkan sampah organik, menemukan sampah-sampah jenis lain, dan sebagian meneliti secara independen mana jenis sampah yang lebih mudah terbakar oleh sinar matahari yang difokuskan melalui lensa pembesar. Di tengah keasyikan mereka di lapangan sekolah, mereka dapat menjelaskan kepada saya urutan jenis bahan dari yang paling mudah terbakar menuju ke yang paling sulit terbakar: kertas koran, daun kering, plastik, kertas biasa, karton, dan kertas timah.

Di depan sebuah kelas 4, saya melihat anak-anak membentuk dua barisan di beranda kelas mereka, anak-anak lelaki dan, di depan mereka, anak-anak perempuan. Rupanya mereka diminta untuk secara berpasang-pasangan menemukan persamaan diantara mereka. Ibu Nurani, guru kelas tersebut, rupanya mengamati cukup seringnya perselisihan yang terjadi antar-jender, dan berharap melalui kegiatan ini masing-masing anak dapat menemukan banyak persamaan diantara lelaki dan perempuan. Satu kelompok bahkan berhasil mendaftarkan 26 jenis persamaan yang mereka miliki, dari yang standar seperti makanan, binatang, warna, buah kesukaan, sampai ke merek motor yang dimiliki keluarga dan ukuran sepatu.

Kedua kelas di atas merupakan representasi dari kelas karakter, sebuah mata pelajaran yang unik untuk SDHT, yang menurut Bapak Aripin Ali, kepala Litbang SDHT, berupaya untuk “membangun kesadaran internal dalam diri anak, membangun kepekaan terhadap masalah, dan meningkatkan kapasitas berpikir anak”. Melalui kelas karakter, pembelajaran mengenai akhlak dan agama diharapkan dapat berlangsung “tidak secara dogmatis, namun berupaya membangun kewibawaan dalam diri anak sehingga penanaman nilai pada diri anak dapat terjadi tanpa menggunakan bahasa-bahasa kekerasan seperti hukuman, ancaman, larangan, dll.”

Melalui Laskar Pelangi, saya berkenalan dengan tokoh-tokoh yang diinspirasi oleh orang-orang yang dikenal baik oleh Andrea Hirata. Dengan gaya bahasanya yang kocak tapi juga mengharukan, nyeleneh tapi juga penuh makna, Andrea bercerita tentang Pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah di Belitong, yang “buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya” (hlm. 25); tentang Lintang, “anak lelaki [pesisir] kecil kotor [dan melarat] berambut keriting merah ... dan berbau hangus seperti karet terbakar ... [tapi yang] akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku” (hlm 3, 10, 15); dan tentang Bu Mus, guru “berbedak tepung beras yang ... membuat wajahnya coreng moreng [apabila berkeringat] ... [tapi] adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan (hlm. 2, 30).

Cerita-cerita keseharian seperti ini yang saya lihat di SDHT dan yang saya baca melalui gubahan imajinasi Andrea Hirata di Laskar Pelangi, bagi saya adalah kesuksesan-kesuksesan yang mungkin terlalu kecil untuk menangkap perhatian media massa, namun mengandung harapan-harapan bagi terjadinya perubahan yang lebih mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Saya rasa cerita-cerita dan kesuksesan-kesuksesan kecil semacam inilah yang perlu kita rayakan dalam keseharian kita, agar kita tidak tenggelam dalam ketidakberdayaan dan permasalahan yang tak berujung pangkal. Saya harap Anda dapat membagikan cerita-cerita kecil Anda baik dengan memberikan komentar untuk tulisan ini maupun melalui sarana-sarana lainnya.

TAMBAHAN

Berikut ini adalah foto-foto tentang SDHT.

Sabtu, Februari 16, 2008

Kecermatan Membaca Informasi

Media di Indonesia dalam beberapa pekan belakangan ini banyak membincangkan masalah ranking pendidikan tinggi. Berita di Kompas, "Peringkat Universitas Unggulan Merosot" (13 Februari 2008), membahas tentang merosotnya ranking UI, UGM, ITB, Unair, dan Undip di Times Higher Education Survey (THES). Berita ini didahului tanggal penerbitannya oleh tulisan Geger Riyanto tentang "Peringkat PT dan Delusi Akademik" (Kompas, 23 Januari 2008), yang menginformasikan dan menjelaskan metodologi THES dibandingkan dengan metodologi ranking perguruan tinggi lainnya, yang dilansir oleh Shanghai Jiao Tong University, dan bagaimana metodologi pengumpulan data dan sumber data dapat mempengaruhi kemerosotan atau peningkatan ranking universitas-universitas di seluruh dunia. Riyanto menjelaskan:
"Pihak THES tidak pernah memaparkan teknik penarikan sampel, tetapi sampel dari penelitian itu jelas tidak merepresentasikan pengenyam pendidikan dari wilayah terkait. Dari 190.000 kuesioner yang dikirimkan, hanya 3.703 yang ditanggapi pada penelitian tahun 2006. Dan, jumlah tanggapan dari suatu negara lebih ditentukan dari tingkat kemampuan warganya untuk mengakses internet. Dari 101 negara yang menanggapi, jumlah penanggap paling banyak dari AS dan Inggris, AS 532 responden dan Inggris 378 responden. Namun, di China hanya 76 penanggap. Di Malaysia (112 penanggap), Singapura (92), dan di Indonesia hanya 93."
Masih sehubungan dengan ranking adalah dipublikasikannya ranking pendidikan tinggi yang diklaim sebagai yang pertama di Indonesia oleh majalah Globe Asia. Publikasi ini ditanggapi oleh Harian Suara Pembaharuan sebagai indikasi bahwa "Universitas Swasta Tembus Dominasi Universitas Negeri" (29 Januari 2008) dikarenakan Universitas Pelita Harapan (UPH) meraih ranking kedua dibawah Universitas Indonesia, dan di atas universitas-universitas unggulan negeri lainnya, seperti UGM, ITB, IPB, Unpad, dan Unair.

Kedua publikasi mendapatkan protes keras dari rektor ITS, Priyo Suprobo, dalam "Bubble Information PTS Konglomerat" (Kompas, 15 Februari 2008) yang melihat ke-bias-an dalam ranking majalah Globe Asia, yang notabene masih satu anak perusahaan dengan UPH. Suprobo memaparkan:
"Globe Asia menggunakan kriteria-kriteria yang meskipun “mirip” dengan lembaga pemeringkat Internasional, tetapi memberi “bobot” yang berbeda. Sebagai contoh, fasilitas kampus diberi bobot 16%, sementara kualitas staff akademik (Dosen) hanya dibobot 9%. Lebih parah lagi, kualitas riset hanya dibobot 7%."
Suprobo bahkan dengan keras mengatakan:
"... ranking yang dilakukan Globe Asia akan menjadi suatu bentuk “penipuan” informasi yang bersifat “buble” kepada publik, khususnya orang tua mahasiswa dari kalangan eksekutif sebagai target pasar majalah tersebut. Penipuan ini menjadi meluas ketika dirilis secara “tidak kritis” oleh koran Suara Pembaruan, 29 Januari 2008."
Perdebatan ini membawa kita kepada masalah keterkaitan antara informasi dan pengetahuan. Steven Pinker dalam bukunya "How the Mind Works" (1997) menyatakan bahwa kepercayaan (beliefs) dan keinginan (desires) tidak lain adalah informasi yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Informasi juga kita ketahui sangat mempengaruhi wawasan pengetahuan seseorang, yang selanjutnya mempengaruhi kekuasaan seseorang terhadap yang lain, yang disarikan oleh pepatah terkenal Sir Francis Bacon: Knowledge is power.

Sementara Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" (2006) menyatakan bahwa informasi itu penting dikarenakan pada saat informasi itu sifatnya tidak lengkap, maka akan muncul sebuah kondisi yang dikenal sebagai ketidaksimetrisan informasi (information asymmetry), yang selanjutnya menyebabkan ketidakadilan (inequity). Stiglitz lebih jauh menjelaskan bahwa globalisasi telah membuat informasi menjadi lebih penting, dikarenakan informasi inilah yang membuat seseorang atau sebuah perusahaan/ institusi memiliki kemampuan kompetitif yang lebih dibandingkan orang/ perusahaan/ institusi lain.

Ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan mengumpulkan informasi menjadi penting, baik dalam arti apabila seseorang itu tidak memiliki kapasitas untuk menganalisis maupun apabila ia tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi yang saling melengkapi.

Untuk mengumpulkan informasi yang dipaparkan dalam tulisan ini, misalnya, membutuhkan saya untuk memiliki akses terhadap dan waktu untuk membaca beberapa surat kabar, baik edisi cetakan maupun melalui internet, dan beberapa buku. Selain itu saya harus mengetahui bagaimana caranya saya dapat mencari semua informasi sehingga mendapatkan kelengkapan data yang dapat memberdayakan saya dalam mengetahui kondisi dan membaca konteks. Yang lebih penting lagi adalah saya harus mengetahui bagaimana saya dapat menganalisa dan mengkritisi semua data-data yang terkumpul dengan cermat, sehingga dapat menilai informasi dan memilah antara informasi yang didukung dengan telaah logis dan oleh karena itu bersifat cermat, dengan informasi yang sifatnya tidak cermat atau bahkan berpihak.

Sementara edisi Globe Asia yang memuat berita ranking pendidikan tinggi di Indonesia ini melakukan tindakan promosi besar-besaran melalui media surat kabar maupun televisi, yang lebih mudah dicerna oleh orang-orang yang tidak memiliki waktu, kemampuan, maupun akses untuk mencari tahu kebenaran sebuah informasi. Dalam kondisi ketidaksimetrisan informasi seperti ini, dikhawatirkan mereka yang memiliki modal untuk melakukan promosi besar-besaran lah yang pada akhirnya akan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Sebuah keprihatinan yang perlu dicanangkan.

Kamis, Februari 14, 2008

Strategi Pendidikan Membutuhkan Arahan

Ada dua artikel di Kompas tanggal 13 Februari 2008 yang menarik perhatian saya sehubungan dengan kebijakan pendidikan di Indonesia. Yang pertama adalah dileburnya sejumlah program studi spesifik menjadi satu program studi umum* (maaf, saya tidak menemukan artikelnya di situs Kompas). Yang kedua adalah ditutupnya 113 program studi di 64 perguruan tinggi.

Kedua artikel tersebut menyebutkan beberapa alasan sehubungan dengan kedua keputusan tersebut, yaitu:

  • rendahnya tingkat penyerapan lapangan kerja bagi lulusan program studi spesifik,
  • minat calon mahasiswa untuk sejumlah program studi spesifik tersebut relatif rendah, dan
  • jenuhnya pasar terhadap lulusan program itu.

Sejumlah program studi spesifik yang dilebur menjadi satu adalah Teknologi Tekstil, Teknik Tekstil, Teknik Kimia Tekstil, dan Teknologi Kimia Industri yang dilebur menjadi Teknik Kimia. Padahal industri tekstil merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi tinggi terhadap ekspor negara, walaupun masih dalam batas produksi. Bahkan menurut Detik Finance (23 Oktober 2007) turunan industri tekstil, yaitu fashion, memberikan kontribusi paling besar (30%) terhadap perkembangan industri kreatif yang secara total memberikan kontribusi ekspor sekitar 7%.

Menanggapi penutupan 113 program studi,

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, penutupan program studi sangat tergantung dari analisa perguruan tinggi.

Padahal apabila kita belajar dari India, munculnya Bangalore sebagai pusat perkembangan teknologi informasi di negara itu, menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya “Making Globalization Work” (2006), tidak terlepas dari pendirian Indian Institute of Science di kota itu pada tahun 1909 secara khusus, dan investasi, kebijakan, dan arahan fokus pengembangan pemerintah India pada bidang pendidikan secara umum sejak beberapa dekade terakhir.

TAMBAHAN
Harian Kompas tanggal 14 Februari 2008 menambahkan informasi tentang pembukaan 761 program studi baru di 167 perguruan tinggi*. Yang menggembirakan sehubungan dengan peningkatan kualitas guru di tulisan ini adalah:
Beberapa program studi yang marak dibuka antara lain Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan program-program studi pendidikan lainnya ... [termasuk di Universitas Tanjungpura Pontianak,] Pendidikan Jasmani ... Pendidikan Anak Usia Dini, ... [dan] Pendidikan Sosiologi.
CATATAN
* Agaknya Kompas Online versi baru tidak lagi memungkinkan pencarian berita yang telah lalu - sebuah hal yang sangat disayangkan. Atau mungkin ada yang mengetahui caranya?