Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan

Minggu, April 06, 2008

Hikmah Teladan Laskar Pelangi

Berita-berita di berbagai media massa dari hari ke hari banyak menceritakan tentang keterpurukan pendidikan di Indonesia, sedemikian sehingga tidak jarang muncul sebuah pertanyaan: Masih adakah harapan bagi kemajuan pendidikan Indonesia? Dua hal yang saya alami selama dua minggu belakangan ini memberikan secercah jawaban positif: Kunjungan saya ke Sekolah Dasar Hikmah Teladan (SDHT) di Cimahi, dan kesempatan untuk membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Di SDHT, saya melihat bagaimana anak-anak kelas 3 telah paham perbedaan antara sampah organik dan anorganik dan bahkan berkampanye ke adik-adik kelas mereka untuk memilah sampah. Beberapa anak yang sedang mengumpulkan sampah organik, menemukan sampah-sampah jenis lain, dan sebagian meneliti secara independen mana jenis sampah yang lebih mudah terbakar oleh sinar matahari yang difokuskan melalui lensa pembesar. Di tengah keasyikan mereka di lapangan sekolah, mereka dapat menjelaskan kepada saya urutan jenis bahan dari yang paling mudah terbakar menuju ke yang paling sulit terbakar: kertas koran, daun kering, plastik, kertas biasa, karton, dan kertas timah.

Di depan sebuah kelas 4, saya melihat anak-anak membentuk dua barisan di beranda kelas mereka, anak-anak lelaki dan, di depan mereka, anak-anak perempuan. Rupanya mereka diminta untuk secara berpasang-pasangan menemukan persamaan diantara mereka. Ibu Nurani, guru kelas tersebut, rupanya mengamati cukup seringnya perselisihan yang terjadi antar-jender, dan berharap melalui kegiatan ini masing-masing anak dapat menemukan banyak persamaan diantara lelaki dan perempuan. Satu kelompok bahkan berhasil mendaftarkan 26 jenis persamaan yang mereka miliki, dari yang standar seperti makanan, binatang, warna, buah kesukaan, sampai ke merek motor yang dimiliki keluarga dan ukuran sepatu.

Kedua kelas di atas merupakan representasi dari kelas karakter, sebuah mata pelajaran yang unik untuk SDHT, yang menurut Bapak Aripin Ali, kepala Litbang SDHT, berupaya untuk “membangun kesadaran internal dalam diri anak, membangun kepekaan terhadap masalah, dan meningkatkan kapasitas berpikir anak”. Melalui kelas karakter, pembelajaran mengenai akhlak dan agama diharapkan dapat berlangsung “tidak secara dogmatis, namun berupaya membangun kewibawaan dalam diri anak sehingga penanaman nilai pada diri anak dapat terjadi tanpa menggunakan bahasa-bahasa kekerasan seperti hukuman, ancaman, larangan, dll.”

Melalui Laskar Pelangi, saya berkenalan dengan tokoh-tokoh yang diinspirasi oleh orang-orang yang dikenal baik oleh Andrea Hirata. Dengan gaya bahasanya yang kocak tapi juga mengharukan, nyeleneh tapi juga penuh makna, Andrea bercerita tentang Pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah di Belitong, yang “buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya” (hlm. 25); tentang Lintang, “anak lelaki [pesisir] kecil kotor [dan melarat] berambut keriting merah ... dan berbau hangus seperti karet terbakar ... [tapi yang] akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku” (hlm 3, 10, 15); dan tentang Bu Mus, guru “berbedak tepung beras yang ... membuat wajahnya coreng moreng [apabila berkeringat] ... [tapi] adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan (hlm. 2, 30).

Cerita-cerita keseharian seperti ini yang saya lihat di SDHT dan yang saya baca melalui gubahan imajinasi Andrea Hirata di Laskar Pelangi, bagi saya adalah kesuksesan-kesuksesan yang mungkin terlalu kecil untuk menangkap perhatian media massa, namun mengandung harapan-harapan bagi terjadinya perubahan yang lebih mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Saya rasa cerita-cerita dan kesuksesan-kesuksesan kecil semacam inilah yang perlu kita rayakan dalam keseharian kita, agar kita tidak tenggelam dalam ketidakberdayaan dan permasalahan yang tak berujung pangkal. Saya harap Anda dapat membagikan cerita-cerita kecil Anda baik dengan memberikan komentar untuk tulisan ini maupun melalui sarana-sarana lainnya.

TAMBAHAN

Berikut ini adalah foto-foto tentang SDHT.

Minggu, Agustus 26, 2007

Ketajaman Kata Arundhati Roy

Novel "God of Small Things" (1998) karya Arundhati Roy adalah salah satu buku terfavorit saya. Namun selain itu, saya belum membaca lagi tulisan Roy lainnya, sampai minggu lalu saat saya membeli "The Algebra of Infinite Justice" (2002). Hampir setengah sudah saya menikmati esai-esai yang terangkai didalamnya, dan saya terkagum-kagum dengan ketajaman Roy tidak hanya dalam mengkritisi permasalahan kehidupan rakyat di India dalam kaitannya dengan globalisasi, namun juga dalam menggunakan kata.

John Berger, pada bagian pembukaan buku tersebut, memilih dengan teliti beberapa kutipan dari tulisan Roy sebagai berikut:
"Seorang penulis meluangkan seumur hidupnya untuk berkelana ke pusat bahasa, berupaya meminimalisir, dan bahkan meniadakan, jarak antara pikiran dan bahasa ... Di Den Haag [di World Water Forum, dimana ribuan ahli sedang mendiskusikan privatisasi air di bumi] saya terpuruk oleh sebuah denominasi, sebuah dunia bawah, yang tujuan hidupnya adalah untuk menopengi tujuan ... Mereka beranak pinak dan berjaya di dalam ruang yang membentang di antara apa yang mereka katakan dan apa yang mereka jual" (hlm. xviii).

Selasa, Agustus 21, 2007

Apakah Ide Berbahayamu?

Saya baru mulai membaca buku "What is Your Dangerous Idea?", yang disunting oleh John Brockman (2007) dan diinspirasi oleh pertanyaan dari ilmuwan Steven Pinker sebagai berikut:
Sejarah ilmu alam dipenuhi dengan penemuan-penemuan yang dianggap berbahaya secara sosial, moral, maupun emosional pada jamannya; revolusi pemikiran Copernicus dan Darwin adalah yang paling jelas. Apakah ide berbahayamu? Sebuah ide yang kamu pikirkan (tidak perlu berasal dari kamu) yang dianggap berbahaya bukan karena diasumsikan salah, tapi karena ada kemungkinan ide itu benar? (hlm. xviii).
Segera setelah membaca paragraf tersebut di atas, saya berpikir bagaimana saya akan menjawab pertanyaan tersebut, sebelum saya membaca jawaban-jawaban dari seratus pemikir terkemuka dunia?

Sekilas langsung terpikir bahwa apabila manusia dikelompokkan berdasarkan tingkat motivasinya dalam berkehidupan, mungkin akan lebih mudah untuk menghindari terjadinya friksi-friksi dan hambatan-hambatan yang disebabkan karena perbedaan pemikiran dan kinerja antar-kelompok motivasi yang berbeda.

Toh upaya-upaya untuk mencari kesamaan dan menemukan kebersamaan antar-kelompok terbukti jauh lebih sulit dilakukan dibanding mencari perbedaan dan menemukan ketidakcocokan antar-kelompok.

Apakah ide berbahayamu?