Rabu, Februari 17, 2010

Pendidikan kewirausahaan & SMK: Kesalahkaprahan strategi terhadap visi Depdiknas

Pada tahun ajaran baru 2010-2011 ini, kurikulum berbasis kewirausahaan rencananya akan mulai dijalankan di sekolah-sekolah. Sejalan dengan itu, Rencana Strategis Depdiknas 2005-2009 dan rancangan 2010-2014 bertujuan merubah komposisi perbandingan SMA dan SMK, dari 70:30 menjadi 33:67 pada tahun 2014.


Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyatakan pentingnya pengembangan keingintahuan dan kemampuan berpikir secara fleksibel, kreatif, dan inovatif dalam penerapan kurikulum berbasis kewirausahaan. Tujuan ini positif karena definisinya tidak bersifat sempit semata-mata untuk mencetak lulusan siap kerja saja, namun juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, beradaptasi, dan mereka cipta. Kemampuan ini diharapkan akan meningkatkan keunggulan sumber daya manusia Indonesia untuk bersaing dalam kancah masyarakat dunia yang berbasis pengetahuan dan kreatifitas.


Walaupun demikian, ada dua catatan penting. Yang pertama adalah keterbatasan visi pendidikan berbasis kewirausahaan dan kejuruan, dan yang kedua adalah kesalahkaprahan strategi yang terpaku pada perubahan bentuk dan kurikulum, bukan pada apakah dan bagaimana guru dapat mengembangkan kurikulum dan memperbaiki proses pembelajaran untuk mencapai hasil yang diharapkan.


Keterbatasan pendidikan berbasis ekonomi


Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum berbasis kewirausahaan terkait kuat dengan program peningkatan kinerja ekonomi kreatif Indonesia dan masalah mismatch dunia pendidikan dan dunia kerja. Walaupun definisi kurikulum berbasis kewirausahaan tidak bersifat sempit, basis ekonomi merupakan sebuah elemen dasar yang penting.


Sebuah pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apakah pengaruh pendidikan berbasis ekonomi bagi masa depan Indonesia sebagai sebuah bangsa? Belajar dari pengalaman negara lain, dalam The End of Education (1995), Neil Postman menganggap sistem pendidikan Amerika terlalu mengagungkan ekonomi dan teknologi sebagai tujuan pendidikan, sehingga membuahkan sikap konsumtif, kompetitif, dan individualistis. Postman beranggapan tujuan pendidikan berbasis ekonomi akan mengakhiri nilai mulia pendidikan bagi bangsa dan umat manusia. Sebagai alternatif, Postman menyarankan pentingnya pendidikan berbasis luas, antara lain, penghargaan terhadap keragaman dan apresiasi terhadap bumi sebagai satu-satunya sumber kehidupan.


Kembali ke Indonesia, dikhawatirkan pendidikan berbasis ekonomi akan mereduksi nilai-nilai penting pendidikan bagi keberlangsungan sebuah kehidupan yang utuh, dimana pekerjaan hanyalah satu dari sekian aspeknya. Pemupukan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir fleksibel, kritis, kreatif, dan inovatif penting untuk ditekankan dalam pendidikan, namun kemampuan tersebut tidak harus berujung pada kewirausahaan.


Kewirausahaan merupakan salah satu kemungkinan hasil, namun kewirausahaan tidak seharusnya menjadi satu-satunya tujuan bagi pembelajaran kemampuan tersebut. Kurikulum berbasis kewirausahaan, maupun pendidikan kejuruan yang akan dibahas pada bagian selanjutnya, bukanlah garansi bagi terjadinya pengembangan kemampuan berpikir seperti yang diharapkan oleh Mendiknas. Namun proses pembelajaran yang tepat lah yang akan menumbuhkan kemampuan tersebut. Perubahan kurikulum yang tidak disertai dengan pembekalan peningkatan ketrampilan guru dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran niscaya akan sia-sia.


Pendidikan berbasis luas


Kedua, tujuan pemerintah untuk merubah perbandingan komposisi SMA dan SMK merupakan tindakan reaktif yang dapat berdampak negatif di kemudian hari. Sebuah studi oleh Newhouse dan Suryadarma (2009) tentang pendidikan kejuruan di Indonesia memaparkan analisa data survai kehidupan keluarga Indonesia selama 14 tahun, yang hasilnya tidak mendukung kebijakan pemerintah. Minat siswa terhadap sekolah kejuruan menurun dari 1.6 juta pada tahun 1999 menjadi 1.2 juta pada tahun 2006.


Pendidikan kejuruan, dibandingkan dengan pendidikan umum, melatih kemampuan dan memberikan pengetahuan terbatas, sehingga dasar pengetahuan dan kemampuan siswa untuk beradaptasi juga terbatas. Akibatnya, efek positif pendidikan kejuruan terhadap produktifitas kerja dan pendapatan lulusannya diperkirakan berkisar pada usia 20 sampai 35 tahun. Efek ini mulai menurun pada usia 30 tahun, dan menjadi negatif setelah usia 40 tahun (Newhouse dan Suryadarma, 2009).


Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan formal tidak harus berarti mengkonversi SMA menjadi SMK. Hasil analisa data diatas dan pembahasan keterbatasan visi pendidikan berbasis ekonomi sebelumnya menyarankan pentingnya pendidikan yang berbasis luas yang didukung oleh guru yang mumpuni dan proses pembelajaran yang tepat.

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 2 di Kecamatan Merlung, Tanjung Baru Barat, Jambi, penulis menemui sebuah bentuk unik kerja sama pemerintah dan swasta. Porsi muatan lokal kurikulum di daerah yang mayoritas penduduknya memperoleh penghasilan dari perkebunan sawit dikembangkan bersama dengan perusahaan nasional yang beroperasi di daerah setempat, yang menyumbangkan sumber daya manusia terbaiknya sebagai pengajar.


Muatan lokal kurikulum dikembangkan tidak hanya agar siswa mendapatkan pengetahuan mengenai perkebunan sawit dan perbaikan produktifitasnya dari segi teori dan praktek, namun juga dilengkapi dengan komponen sejarah, biologi, dan ekonomi yang terkait dengan perkebunan sawit.


Upaya awal ini tentunya dapat dikembangkan dengan membekali pengajarnya dengan pendekatan pembelajaran interdisciplinary yang mengembangkan kemampuan berpikir siswa, sehingga keterkaitan antara muatan lokal dengan bidang keilmuan lainnya dapat disinergikan dengan lebih baik. Secara komprehensif, pendidikan berbasis luas dengan pendekatan pembelajaran interdisciplinary akan membuat siswa menyadari relevansi dan manfaat ilmu dan pendidikan bagi kehidupan sehari-hari, komunitas lokal, dan permasalahan bangsa, lingkungan dan dunia.

Tidak ada komentar: