Minggu, November 09, 2008

Situs Pendidikan

Beberapa situs pendidikan menarik:

1. Edutopia, berisi artikel-artikel dan video pendidikan - baik ceramah maupun liputan inovasi pendidikan yang dipraktekkan di sekolah. Lihat juga Edutube untuk video pendidikan.

2. Partnership for 21st Century Skills - sebuah inisiatif yang mengajukan pemikiran tentang apa yang dianggap penting untuk pendidikan abad ke-21, dari pengetahuan, ketrampilan belajar, berpikir dan berinovasi, penguasaan informasi, teknologi, dan media, dan ketrampilan hidup lainnya.

Kamis, Agustus 21, 2008

Relevankah Pendidikan Menengah?

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.


Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.

Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.

Minggu, April 06, 2008

Hikmah Teladan Laskar Pelangi

Berita-berita di berbagai media massa dari hari ke hari banyak menceritakan tentang keterpurukan pendidikan di Indonesia, sedemikian sehingga tidak jarang muncul sebuah pertanyaan: Masih adakah harapan bagi kemajuan pendidikan Indonesia? Dua hal yang saya alami selama dua minggu belakangan ini memberikan secercah jawaban positif: Kunjungan saya ke Sekolah Dasar Hikmah Teladan (SDHT) di Cimahi, dan kesempatan untuk membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Di SDHT, saya melihat bagaimana anak-anak kelas 3 telah paham perbedaan antara sampah organik dan anorganik dan bahkan berkampanye ke adik-adik kelas mereka untuk memilah sampah. Beberapa anak yang sedang mengumpulkan sampah organik, menemukan sampah-sampah jenis lain, dan sebagian meneliti secara independen mana jenis sampah yang lebih mudah terbakar oleh sinar matahari yang difokuskan melalui lensa pembesar. Di tengah keasyikan mereka di lapangan sekolah, mereka dapat menjelaskan kepada saya urutan jenis bahan dari yang paling mudah terbakar menuju ke yang paling sulit terbakar: kertas koran, daun kering, plastik, kertas biasa, karton, dan kertas timah.

Di depan sebuah kelas 4, saya melihat anak-anak membentuk dua barisan di beranda kelas mereka, anak-anak lelaki dan, di depan mereka, anak-anak perempuan. Rupanya mereka diminta untuk secara berpasang-pasangan menemukan persamaan diantara mereka. Ibu Nurani, guru kelas tersebut, rupanya mengamati cukup seringnya perselisihan yang terjadi antar-jender, dan berharap melalui kegiatan ini masing-masing anak dapat menemukan banyak persamaan diantara lelaki dan perempuan. Satu kelompok bahkan berhasil mendaftarkan 26 jenis persamaan yang mereka miliki, dari yang standar seperti makanan, binatang, warna, buah kesukaan, sampai ke merek motor yang dimiliki keluarga dan ukuran sepatu.

Kedua kelas di atas merupakan representasi dari kelas karakter, sebuah mata pelajaran yang unik untuk SDHT, yang menurut Bapak Aripin Ali, kepala Litbang SDHT, berupaya untuk “membangun kesadaran internal dalam diri anak, membangun kepekaan terhadap masalah, dan meningkatkan kapasitas berpikir anak”. Melalui kelas karakter, pembelajaran mengenai akhlak dan agama diharapkan dapat berlangsung “tidak secara dogmatis, namun berupaya membangun kewibawaan dalam diri anak sehingga penanaman nilai pada diri anak dapat terjadi tanpa menggunakan bahasa-bahasa kekerasan seperti hukuman, ancaman, larangan, dll.”

Melalui Laskar Pelangi, saya berkenalan dengan tokoh-tokoh yang diinspirasi oleh orang-orang yang dikenal baik oleh Andrea Hirata. Dengan gaya bahasanya yang kocak tapi juga mengharukan, nyeleneh tapi juga penuh makna, Andrea bercerita tentang Pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah di Belitong, yang “buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya” (hlm. 25); tentang Lintang, “anak lelaki [pesisir] kecil kotor [dan melarat] berambut keriting merah ... dan berbau hangus seperti karet terbakar ... [tapi yang] akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku” (hlm 3, 10, 15); dan tentang Bu Mus, guru “berbedak tepung beras yang ... membuat wajahnya coreng moreng [apabila berkeringat] ... [tapi] adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan (hlm. 2, 30).

Cerita-cerita keseharian seperti ini yang saya lihat di SDHT dan yang saya baca melalui gubahan imajinasi Andrea Hirata di Laskar Pelangi, bagi saya adalah kesuksesan-kesuksesan yang mungkin terlalu kecil untuk menangkap perhatian media massa, namun mengandung harapan-harapan bagi terjadinya perubahan yang lebih mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Saya rasa cerita-cerita dan kesuksesan-kesuksesan kecil semacam inilah yang perlu kita rayakan dalam keseharian kita, agar kita tidak tenggelam dalam ketidakberdayaan dan permasalahan yang tak berujung pangkal. Saya harap Anda dapat membagikan cerita-cerita kecil Anda baik dengan memberikan komentar untuk tulisan ini maupun melalui sarana-sarana lainnya.

TAMBAHAN

Berikut ini adalah foto-foto tentang SDHT.

Rabu, Maret 19, 2008

Cinta Laura: Bahasa, Pendidikan dan Konsep Kebangsaan

Apabila Anda, seperti saya, adalah pendengar radio (terlepas dari berapa sering), maka Anda pasti sudah mendengar iklan radio Telkomsel belakangan ini, yang salah satu cuplikannya adalah (kalau saya tidak salah dengar/ ingat): “Bahasa Indonesia saya buruk sekali, jadi Cinta will be going to Australia to improve Bahasa Indonesia Cinta”.

Pencarian singkat melalui Google (lihat ini dan ini) memberikan informasi bahwa si karakter rupanya meniru (atau memang adalah?) Cinta Laura (baca: Cincha/Chintjha - Lawra/ Lauhra/ Lowrwa), yang menurut Wikipedia Indonesia adalah “salah satu artis keturunan dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang buruk sekali”. Namun rupanya ada yang beranggapan bahwa gaya berbicara Cinta justru adalah karakteristik yang men-diferensiasi Cinta dibandingkan artis-artis lainnya, dan memudahkan marketing dan branding seorang persona.

Terlepas dari kelucuan dan hiburan yang diberikan baik oleh bahasa gado-gado Cinta dan iklan Telkomsel, ada dua kekhawatiran yang saling berkaitan, yang muncul sehubungan dengan fenomena ini. Kekhawatiran pertama berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan kebangsaan, dan yang kedua adalah persepsi terhadap pendidikan yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Kekhawatiran pertama terpicu oleh masalah penggunaan bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang penggunaannya secara baik dan benar seharusnya menjadi upaya dan pencerminan identitas dan kebanggaan kita sebagai sebuah bangsa.

Ben Anderson, dalam “Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia” (1990) berargumentasi bahwa dalam Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu pengikat terbentuknya konsep Bangsa Indonesia:

“... it was less nationalism that created a common language than that a common language helped create nationalism” (Anderson, 1990: 199).

Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat yang membentuk dan memperkuat konsep kebangsaan mengalami tantangan belakangan ini dengan semakin pentingnya Bahasa Inggris sebagai bahasa universal di dunia yang terus meng-global, yang membawa kita kepada kekhawatiran kedua.

Belakangan ini, banyak sekolah-sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama dalam proses belajar-mengajar. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi, adanya persepsi yang, dan upaya untuk membentuk persepsi masyarakat agar, menganggap Bahasa Inggris sedemikian pentingnya sehingga dari negara mana asal si pengajar berasal menjadi lebih penting dari latar belakang pendidikan dan wawasan pengalaman si pengajar.

Tidak sedikit sekolah yang mengemukakan ke-ekspatriat-an seorang guru sebagai salah satu (atau mungkin satu-satunya?) keunggulan sebuah sekolah. Pembicaraan dengan seorang rekan yang juga seorang ibu beberapa waktu yang lalu mencerminkan kegelisahannya yang melihat bahwa anaknya yang bersekolah di sekolah berbahasa pengantar Inggris mulai merasa keberatan menggunakan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi karena si anak beranggapan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang lebih rendah dibandingkan Bahasa Inggris.

Cuplikan iklan radio Telkomsel di atas mencerminkan sebuah pandangan yang menganggap bahwa pendidikan di luar negeri (apalagi di Australia, salah satu negara Barat) pasti lebih baik dibandingkan pendidikan di Indonesia, terlepas dari subyek ilmu pengetahuan dan faktor-faktor penimbang lainnya. Namun mudah-mudahan reaksi Anda pada saat mendengar atau membaca cuplikan iklan radio tersebut adalah timbulnya pertanyaan: Belajar Bahasa Indonesia kok ke Australia?

Apakah kedua kekhawatiran ini mencerminkan sebuah kekhawatiran yang lebih besar, bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang rendah diri dimana masyarakatnya tidak memiliki kebanggaan terhadap identitas bangsanya? Mungkin saja, walaupun saya berharap kekhawatiran ini tidak cukup memiliki dasar yang kuat. Bagaimana menurut Anda?

Sabtu, Februari 16, 2008

Kecermatan Membaca Informasi

Media di Indonesia dalam beberapa pekan belakangan ini banyak membincangkan masalah ranking pendidikan tinggi. Berita di Kompas, "Peringkat Universitas Unggulan Merosot" (13 Februari 2008), membahas tentang merosotnya ranking UI, UGM, ITB, Unair, dan Undip di Times Higher Education Survey (THES). Berita ini didahului tanggal penerbitannya oleh tulisan Geger Riyanto tentang "Peringkat PT dan Delusi Akademik" (Kompas, 23 Januari 2008), yang menginformasikan dan menjelaskan metodologi THES dibandingkan dengan metodologi ranking perguruan tinggi lainnya, yang dilansir oleh Shanghai Jiao Tong University, dan bagaimana metodologi pengumpulan data dan sumber data dapat mempengaruhi kemerosotan atau peningkatan ranking universitas-universitas di seluruh dunia. Riyanto menjelaskan:
"Pihak THES tidak pernah memaparkan teknik penarikan sampel, tetapi sampel dari penelitian itu jelas tidak merepresentasikan pengenyam pendidikan dari wilayah terkait. Dari 190.000 kuesioner yang dikirimkan, hanya 3.703 yang ditanggapi pada penelitian tahun 2006. Dan, jumlah tanggapan dari suatu negara lebih ditentukan dari tingkat kemampuan warganya untuk mengakses internet. Dari 101 negara yang menanggapi, jumlah penanggap paling banyak dari AS dan Inggris, AS 532 responden dan Inggris 378 responden. Namun, di China hanya 76 penanggap. Di Malaysia (112 penanggap), Singapura (92), dan di Indonesia hanya 93."
Masih sehubungan dengan ranking adalah dipublikasikannya ranking pendidikan tinggi yang diklaim sebagai yang pertama di Indonesia oleh majalah Globe Asia. Publikasi ini ditanggapi oleh Harian Suara Pembaharuan sebagai indikasi bahwa "Universitas Swasta Tembus Dominasi Universitas Negeri" (29 Januari 2008) dikarenakan Universitas Pelita Harapan (UPH) meraih ranking kedua dibawah Universitas Indonesia, dan di atas universitas-universitas unggulan negeri lainnya, seperti UGM, ITB, IPB, Unpad, dan Unair.

Kedua publikasi mendapatkan protes keras dari rektor ITS, Priyo Suprobo, dalam "Bubble Information PTS Konglomerat" (Kompas, 15 Februari 2008) yang melihat ke-bias-an dalam ranking majalah Globe Asia, yang notabene masih satu anak perusahaan dengan UPH. Suprobo memaparkan:
"Globe Asia menggunakan kriteria-kriteria yang meskipun “mirip” dengan lembaga pemeringkat Internasional, tetapi memberi “bobot” yang berbeda. Sebagai contoh, fasilitas kampus diberi bobot 16%, sementara kualitas staff akademik (Dosen) hanya dibobot 9%. Lebih parah lagi, kualitas riset hanya dibobot 7%."
Suprobo bahkan dengan keras mengatakan:
"... ranking yang dilakukan Globe Asia akan menjadi suatu bentuk “penipuan” informasi yang bersifat “buble” kepada publik, khususnya orang tua mahasiswa dari kalangan eksekutif sebagai target pasar majalah tersebut. Penipuan ini menjadi meluas ketika dirilis secara “tidak kritis” oleh koran Suara Pembaruan, 29 Januari 2008."
Perdebatan ini membawa kita kepada masalah keterkaitan antara informasi dan pengetahuan. Steven Pinker dalam bukunya "How the Mind Works" (1997) menyatakan bahwa kepercayaan (beliefs) dan keinginan (desires) tidak lain adalah informasi yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Informasi juga kita ketahui sangat mempengaruhi wawasan pengetahuan seseorang, yang selanjutnya mempengaruhi kekuasaan seseorang terhadap yang lain, yang disarikan oleh pepatah terkenal Sir Francis Bacon: Knowledge is power.

Sementara Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" (2006) menyatakan bahwa informasi itu penting dikarenakan pada saat informasi itu sifatnya tidak lengkap, maka akan muncul sebuah kondisi yang dikenal sebagai ketidaksimetrisan informasi (information asymmetry), yang selanjutnya menyebabkan ketidakadilan (inequity). Stiglitz lebih jauh menjelaskan bahwa globalisasi telah membuat informasi menjadi lebih penting, dikarenakan informasi inilah yang membuat seseorang atau sebuah perusahaan/ institusi memiliki kemampuan kompetitif yang lebih dibandingkan orang/ perusahaan/ institusi lain.

Ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan mengumpulkan informasi menjadi penting, baik dalam arti apabila seseorang itu tidak memiliki kapasitas untuk menganalisis maupun apabila ia tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi yang saling melengkapi.

Untuk mengumpulkan informasi yang dipaparkan dalam tulisan ini, misalnya, membutuhkan saya untuk memiliki akses terhadap dan waktu untuk membaca beberapa surat kabar, baik edisi cetakan maupun melalui internet, dan beberapa buku. Selain itu saya harus mengetahui bagaimana caranya saya dapat mencari semua informasi sehingga mendapatkan kelengkapan data yang dapat memberdayakan saya dalam mengetahui kondisi dan membaca konteks. Yang lebih penting lagi adalah saya harus mengetahui bagaimana saya dapat menganalisa dan mengkritisi semua data-data yang terkumpul dengan cermat, sehingga dapat menilai informasi dan memilah antara informasi yang didukung dengan telaah logis dan oleh karena itu bersifat cermat, dengan informasi yang sifatnya tidak cermat atau bahkan berpihak.

Sementara edisi Globe Asia yang memuat berita ranking pendidikan tinggi di Indonesia ini melakukan tindakan promosi besar-besaran melalui media surat kabar maupun televisi, yang lebih mudah dicerna oleh orang-orang yang tidak memiliki waktu, kemampuan, maupun akses untuk mencari tahu kebenaran sebuah informasi. Dalam kondisi ketidaksimetrisan informasi seperti ini, dikhawatirkan mereka yang memiliki modal untuk melakukan promosi besar-besaran lah yang pada akhirnya akan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Sebuah keprihatinan yang perlu dicanangkan.

Kamis, Februari 14, 2008

Strategi Pendidikan Membutuhkan Arahan

Ada dua artikel di Kompas tanggal 13 Februari 2008 yang menarik perhatian saya sehubungan dengan kebijakan pendidikan di Indonesia. Yang pertama adalah dileburnya sejumlah program studi spesifik menjadi satu program studi umum* (maaf, saya tidak menemukan artikelnya di situs Kompas). Yang kedua adalah ditutupnya 113 program studi di 64 perguruan tinggi.

Kedua artikel tersebut menyebutkan beberapa alasan sehubungan dengan kedua keputusan tersebut, yaitu:

  • rendahnya tingkat penyerapan lapangan kerja bagi lulusan program studi spesifik,
  • minat calon mahasiswa untuk sejumlah program studi spesifik tersebut relatif rendah, dan
  • jenuhnya pasar terhadap lulusan program itu.

Sejumlah program studi spesifik yang dilebur menjadi satu adalah Teknologi Tekstil, Teknik Tekstil, Teknik Kimia Tekstil, dan Teknologi Kimia Industri yang dilebur menjadi Teknik Kimia. Padahal industri tekstil merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi tinggi terhadap ekspor negara, walaupun masih dalam batas produksi. Bahkan menurut Detik Finance (23 Oktober 2007) turunan industri tekstil, yaitu fashion, memberikan kontribusi paling besar (30%) terhadap perkembangan industri kreatif yang secara total memberikan kontribusi ekspor sekitar 7%.

Menanggapi penutupan 113 program studi,

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, penutupan program studi sangat tergantung dari analisa perguruan tinggi.

Padahal apabila kita belajar dari India, munculnya Bangalore sebagai pusat perkembangan teknologi informasi di negara itu, menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya “Making Globalization Work” (2006), tidak terlepas dari pendirian Indian Institute of Science di kota itu pada tahun 1909 secara khusus, dan investasi, kebijakan, dan arahan fokus pengembangan pemerintah India pada bidang pendidikan secara umum sejak beberapa dekade terakhir.

TAMBAHAN
Harian Kompas tanggal 14 Februari 2008 menambahkan informasi tentang pembukaan 761 program studi baru di 167 perguruan tinggi*. Yang menggembirakan sehubungan dengan peningkatan kualitas guru di tulisan ini adalah:
Beberapa program studi yang marak dibuka antara lain Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan program-program studi pendidikan lainnya ... [termasuk di Universitas Tanjungpura Pontianak,] Pendidikan Jasmani ... Pendidikan Anak Usia Dini, ... [dan] Pendidikan Sosiologi.
CATATAN
* Agaknya Kompas Online versi baru tidak lagi memungkinkan pencarian berita yang telah lalu - sebuah hal yang sangat disayangkan. Atau mungkin ada yang mengetahui caranya?