Sabtu, Februari 16, 2008

Kecermatan Membaca Informasi

Media di Indonesia dalam beberapa pekan belakangan ini banyak membincangkan masalah ranking pendidikan tinggi. Berita di Kompas, "Peringkat Universitas Unggulan Merosot" (13 Februari 2008), membahas tentang merosotnya ranking UI, UGM, ITB, Unair, dan Undip di Times Higher Education Survey (THES). Berita ini didahului tanggal penerbitannya oleh tulisan Geger Riyanto tentang "Peringkat PT dan Delusi Akademik" (Kompas, 23 Januari 2008), yang menginformasikan dan menjelaskan metodologi THES dibandingkan dengan metodologi ranking perguruan tinggi lainnya, yang dilansir oleh Shanghai Jiao Tong University, dan bagaimana metodologi pengumpulan data dan sumber data dapat mempengaruhi kemerosotan atau peningkatan ranking universitas-universitas di seluruh dunia. Riyanto menjelaskan:
"Pihak THES tidak pernah memaparkan teknik penarikan sampel, tetapi sampel dari penelitian itu jelas tidak merepresentasikan pengenyam pendidikan dari wilayah terkait. Dari 190.000 kuesioner yang dikirimkan, hanya 3.703 yang ditanggapi pada penelitian tahun 2006. Dan, jumlah tanggapan dari suatu negara lebih ditentukan dari tingkat kemampuan warganya untuk mengakses internet. Dari 101 negara yang menanggapi, jumlah penanggap paling banyak dari AS dan Inggris, AS 532 responden dan Inggris 378 responden. Namun, di China hanya 76 penanggap. Di Malaysia (112 penanggap), Singapura (92), dan di Indonesia hanya 93."
Masih sehubungan dengan ranking adalah dipublikasikannya ranking pendidikan tinggi yang diklaim sebagai yang pertama di Indonesia oleh majalah Globe Asia. Publikasi ini ditanggapi oleh Harian Suara Pembaharuan sebagai indikasi bahwa "Universitas Swasta Tembus Dominasi Universitas Negeri" (29 Januari 2008) dikarenakan Universitas Pelita Harapan (UPH) meraih ranking kedua dibawah Universitas Indonesia, dan di atas universitas-universitas unggulan negeri lainnya, seperti UGM, ITB, IPB, Unpad, dan Unair.

Kedua publikasi mendapatkan protes keras dari rektor ITS, Priyo Suprobo, dalam "Bubble Information PTS Konglomerat" (Kompas, 15 Februari 2008) yang melihat ke-bias-an dalam ranking majalah Globe Asia, yang notabene masih satu anak perusahaan dengan UPH. Suprobo memaparkan:
"Globe Asia menggunakan kriteria-kriteria yang meskipun “mirip” dengan lembaga pemeringkat Internasional, tetapi memberi “bobot” yang berbeda. Sebagai contoh, fasilitas kampus diberi bobot 16%, sementara kualitas staff akademik (Dosen) hanya dibobot 9%. Lebih parah lagi, kualitas riset hanya dibobot 7%."
Suprobo bahkan dengan keras mengatakan:
"... ranking yang dilakukan Globe Asia akan menjadi suatu bentuk “penipuan” informasi yang bersifat “buble” kepada publik, khususnya orang tua mahasiswa dari kalangan eksekutif sebagai target pasar majalah tersebut. Penipuan ini menjadi meluas ketika dirilis secara “tidak kritis” oleh koran Suara Pembaruan, 29 Januari 2008."
Perdebatan ini membawa kita kepada masalah keterkaitan antara informasi dan pengetahuan. Steven Pinker dalam bukunya "How the Mind Works" (1997) menyatakan bahwa kepercayaan (beliefs) dan keinginan (desires) tidak lain adalah informasi yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Informasi juga kita ketahui sangat mempengaruhi wawasan pengetahuan seseorang, yang selanjutnya mempengaruhi kekuasaan seseorang terhadap yang lain, yang disarikan oleh pepatah terkenal Sir Francis Bacon: Knowledge is power.

Sementara Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" (2006) menyatakan bahwa informasi itu penting dikarenakan pada saat informasi itu sifatnya tidak lengkap, maka akan muncul sebuah kondisi yang dikenal sebagai ketidaksimetrisan informasi (information asymmetry), yang selanjutnya menyebabkan ketidakadilan (inequity). Stiglitz lebih jauh menjelaskan bahwa globalisasi telah membuat informasi menjadi lebih penting, dikarenakan informasi inilah yang membuat seseorang atau sebuah perusahaan/ institusi memiliki kemampuan kompetitif yang lebih dibandingkan orang/ perusahaan/ institusi lain.

Ketidakmampuan seseorang dalam membaca dan mengumpulkan informasi menjadi penting, baik dalam arti apabila seseorang itu tidak memiliki kapasitas untuk menganalisis maupun apabila ia tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi yang saling melengkapi.

Untuk mengumpulkan informasi yang dipaparkan dalam tulisan ini, misalnya, membutuhkan saya untuk memiliki akses terhadap dan waktu untuk membaca beberapa surat kabar, baik edisi cetakan maupun melalui internet, dan beberapa buku. Selain itu saya harus mengetahui bagaimana caranya saya dapat mencari semua informasi sehingga mendapatkan kelengkapan data yang dapat memberdayakan saya dalam mengetahui kondisi dan membaca konteks. Yang lebih penting lagi adalah saya harus mengetahui bagaimana saya dapat menganalisa dan mengkritisi semua data-data yang terkumpul dengan cermat, sehingga dapat menilai informasi dan memilah antara informasi yang didukung dengan telaah logis dan oleh karena itu bersifat cermat, dengan informasi yang sifatnya tidak cermat atau bahkan berpihak.

Sementara edisi Globe Asia yang memuat berita ranking pendidikan tinggi di Indonesia ini melakukan tindakan promosi besar-besaran melalui media surat kabar maupun televisi, yang lebih mudah dicerna oleh orang-orang yang tidak memiliki waktu, kemampuan, maupun akses untuk mencari tahu kebenaran sebuah informasi. Dalam kondisi ketidaksimetrisan informasi seperti ini, dikhawatirkan mereka yang memiliki modal untuk melakukan promosi besar-besaran lah yang pada akhirnya akan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Sebuah keprihatinan yang perlu dicanangkan.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

iyah benar banget bu.
sepertinya mesti pembanding yang setara untuk mengetahui pemberitaan yang diinformasikan

Raynata... mengatakan...

Yoo..ini uda jadi pembicaraan dimana-mana di kampus...tapi ya gitulah..sekarang saya lebi percaya sama kemampuan manusia ketimbang kemampuan institusi...jujurnya saya benar-benar kecewa sama institusi belakangan...

lebi percaya.."mutiara biarpun diletakkan di genangan lumpur akan tetap jadi mutiara"...

yah,biarpun saya ga bisa mengabaikan kebutuhan saya untuk dibimbing...

quarkie mengatakan...

Ini mungkin yang dimaksud Toffler dengan era informasi (atau misinformasi) bahwa informasi menjadi kunci pemenangan persaingan :)?
Di bidang bisnis, assymetric information sudah menjadi masalah akut yang belum juga menemukan obat yang benar-benar 'cespleng' ... biarpun segala macam regulasi dan aturan main dipasang malang melintang.
Tapi saya masih optimis, kok. Saat ini memang masalahnya sudah bergeser, sebagaimana diduga Bu Dewi ... di tengah 'banjir' informasi yang ada, maka kemampuan memilih dan memanfaatkan informasi yang relevan dan valid lah yang menjadi penting untuk survive atau bahkan memenangkan persaingan.
Hanya masalahnya adalah, kapan bangsa yang emosional dan cenderung grusa-grusu ini bisa bersikap kritis dan melakukan pengecekan ulang terhadap informasi yang mereka terima ...
:( ???

Dewi Susanti mengatakan...

Saya belum pernah membaca Toffler. Tapi memang yang paling mengkhawatirkan adalah kekurangkritisan masyarakat kita dalam membaca informasi. Saya pernah membaca sebuah artikel di Jakarta Post (maaf saya lupa penulis maupun judulnya sehingga tidak bisa merujuk ke tulisan tersebut) yang mencermati bahwa sebagai bangsa yang belum memiliki budaya membaca, banjir informasi jadi masalah, karena kecermatan dan kekritisan dalam membaca dan menganalisis informasi belum terbentuk. Jadi semua informasi, apalagi yang tertulis, dianggap benar – ini yang berbahaya.