Rabu, November 14, 2007

Protes Busway di Pondok Indah: NIMBYism ala Jakarta?

Pembangunan jaringan transportasi publik Transjakarta, atau yang lebih dikenal sebagai busway sudah dimulai sejak tahun 2004. Sejak itu cukup banyak perdebatan tentang keberadaan busway di Jakarta, sebagian mendukung, kebanyakan apatis. Namun baru belakangan ini busway menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari, dan baru belakangan ini kita membaca dan mendengar protes keras berkaitan dengan pembangunan jalur busway, yang diprakarsai oleh penduduk Pondok Indah, dan diikuti oleh penduduk Pluit.

Yang ingin saya bahas adalah, kenapa setelah tiga tahun lebih, dan kenapa di Pondok Indah dan Pluit yang notabene adalah daerah perumahan elit di Jakarta?

Menjawab pertanyaan pertama adalah pembangunan jalur busway kali ini diadakan secara serentak, sehingga mempengaruhi daya tampung jalan-jalan yang sudah penuh sesak di Jakarta secara signifikan. Mungkin tidak ada penduduk Jakarta yang tidak terpengaruhi sama sekali oleh pembangunan jalur busway, sehingga hampir setiap hari kita dengar pembicaraan yang menyangkut busway – yang cenderung penuh dengan kritikan.


Padahal, beberapa hari yang lalu saya perhatikan bahwa pembangunan jalur busway di Jalan Panjang juga disertai dengan perbaikan jalur pedestrian di kedua sisi jalan. Dan apabila sistem transportasi publik ini berjalan dengan baik, tidak tertutup kemungkinan bagi pengguna kendaraan pribadi untuk berubah menjadi pengguna transportasi publik.

Namun sayangnya pembangunan jalur busway belum disertai oleh pembentukan sistem pendukungnya (seperti feeder dan tempat-tempat parkir yang memungkinkan terjadinya transfer antar-moda transportasi) yang memudahkan pengguna kendaraan pribadi untuk berubah menjadi pengguna kendaraan umum.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, yaitu kenapa dari seluruh penduduk Jakarta yang daerahnya dilewati oleh jalur busway, protes terhadap pembangunan ini dimulai justru di Pondok Indah?

Pertanyaan tersebut membawa ingatan saya kepada tulisan Mike Davis tentang Los Angeles, yang dalam pandangan saya memiliki banyak kesamaan dengan Jakarta. Dalam City of Quartz (1990), Davis memberikan pengantar pada buku terbitan tahun 2006, yang mencantumkan tujuh permasalahan yang terjadi sejak 1990 sampai 2006 di Los Angeles, yaitu: Kemacetan yang parah, larinya modal dari kota, berkurangnya lapangan pekerjaan, semakin jauhnya rentang perbedaan antar-kelompok sosial ekonomi dalam masyarakat, segregasi masyarakat secara sosial dan fisik, meningginya tingkat kejahatan dan kekerasan, dan munculnya kekuatan organisasi masyarakat (Davis, 2006: v-xviii).

Berkaitan dengan organisasi masyarakat di Los Angeles, Davis mengemukakan sebuah argumentasi yang sangat komprehensif dalam isi bukunya. Dalam pandangan Davis, masyarakat menengah ke atas sangat berpengaruh dalam pembentukan kota Los Angeles, dan merupakan penggerak yang paling efektif dalam perlawanan terhadap pembangunan, khususnya yang di Amerika Serikat dikenal sebagai gerakan NIMBY – not in my back yard. Dalam bagian pembukaan bab “Homegrown Revolution”, yang membahas secara khusus mengenai masyarakat menengah ke atas Los Angeles, Davis menulis:

fakta pertama: Pemilik rumah di Los Angeles, … mencintai anak-anak mereka, tapi mereka lebih mencintai nilai properti mereka.

fakta kedua: ‘Komunitas’ di Los Angeles berarti kesamaan ras, kelas dan, yang terutama, nilai rumah.

fakta ketiga: ‘Gerakan sosial’ yang paling berpengaruh dalam sejarah kontemporer California Selatan adalah yang dilakukan oleh pemilik rumah yang mampu, …

(Davis, M. (2006: 153).

Apakah protes pembangunan jalur busway di Pondok Indah merupakan sebuah awal gerakan NIMBY ala Jakarta?

21 komentar:

Unknown mengatakan...

NIMBYI, sepertinya tidak hanya berlaku bagi penduduk PI dan Pluit, tapi berlaku juga bagi penerbit salah satu surat kabar harian dengan oplah terbesar, yang jalan menuju kantornya terlewati oleh pembangunan jalur busway. Akhirnya porsi pemberitaan pun sangat banyak.
Kalau diamati, dimana-mana pembangunan infrastruktur busway selalu menghasilkan kemacetan luar biasa, seperti contohnya di Daan Mogot dan Roxy-Tomang untuk koridor 2. Tidak hanya sepanjang Jl Daan Mogot yang lebih dari 20km itu yang macet, namun merambat hingga arteri Kapuk dan jalan tol Bandara. Tapi pernahkah kita dulu membaca berita kemacetan luar biasa terjadi di Daan Mogot?
Saya yang pengguna jalan Daan Mogot dan sekitarnya, cuma bisa bersabar sampai jalur busway selesai, dan tokh akhirnya setelah selesai, jalan pun relatif lebih lancar, karena ternyata pembangunan busway koridor 2 itu membawa manfaat besar bagi komuter asal Tangerang.

Saya jadi ingin membaca buku Mike Davis yang ibu sebutkan, membuat saya teringat pada buku Kotler, Marketing Places, disalah satu babnya tentang city decay dynamics, yang memiliki ciri-ciri kurang lebih sama dengan keadaan LA tersebut.

Lain Daan Mogot, lain PI dan Pluit. Mengkinkah mereka merasa sangat terganggu karena lajur untuk kendaraan pribadi mereka berubah menjadi dedicated busway?
Sepertinya sesuai dengan NIMBY, tidak ada istilah berkorban demi kepentingan bersama.

Dewi Susanti mengatakan...

Memang pada akhirnya pihak-pihak yang berkepentingan menjadi sangat berpengaruh dalam menyikapi sebuah kebijakan publik seperti halnya busway. Saya sebetulnya cukup tertarik dengan motif yang melatarbelakangi protes di Pondok Indah dan Pluit; karena kalau masalahnya adalah kemacetan, bukankah seluruh daerah yang berada di sekitar jalur busway pasti terkena imbasnya? Lalu kenapa selama 3 tahun lebih tidak ada yang protes seperti halnya yang sekarang terjadi?

Ataukah berkaitan arogansi warga Pondok Indah seperti yang diprotes dalam demonstrasi ini? Atau sebenarnya berkaitan dengan kekhawatiran tentang berkurangnya keelitan daerah-daerah tersebut, yang berkaitan langsung dengan nilai properti?

Saya belum pernah membaca buku Kotler. Buku Davis menawarkan suatu pendekatan yang sangat menarik dalam analisa kota, karena tidak hanya dilihat dari sudut fisik kota, namun dari budaya, kekuasaan, dan pengaruhnya terhadap geografi kota. Di dalamnya juga disebutkan secara sepintas tentang daerah Monterey Park di LA yang "dijual sebagai California Dream versi orang Cina" yang sangat diminati antara lainnya oleh imigran-imigran dari Indonesia.

Lippo Karawaci, sangat mengingatkan saya pada salah satu daerah di LA yang sangat steril. Menarik bukan dalam kaitannya? Atau mungkin saya menarik terlalu jauh? :)

Unknown mengatakan...

Saya juga memiliki kecurigaan yang sama untuk PI dan Pluit, walaupun tidak berpikir jauh soal harga real estate mereka. Mungkin saja mereka takut citra eksklusif mereka menurun.
Namun untuk kasus sepanjang Jalan Panjang, lain lagi motifnya.

Saya pribadi agak yakin, kalau saya tidak bakal betah untuk tinggal di area Lippo Karawaci, semuanya seperti terkontrol. Seperti Stepford Town.

Saya jadi tambah berminat untuk mencari buku yang ibu maksud, karena saya berminat mengeksplorasi kaitan antara politik terhadap arsitektur, perkembangan kota, ekologi, dll.

Dewi Susanti mengatakan...

Saya rasa apabila kita berbicara tentang ruang memang tidak dapat lari dari masalah kekuasaan, baik dalam bentuk politik dan modal.
Saya sendiri juga sangat tertarik dengan keterkaitan antara ruang dan kekuasaan, terutama berkaitan dengan privatisasi.

Dalam kaitannya dengan Jakarta, apakah Anda sudah membaca disertasi Abidin Kusno? Saya rasa itu bisa menarik buat Anda, demikian juga disertasi Michael Leaf.

Anonim mengatakan...

NIMBY? Mgkin terlalu jauh ya. Pasalnya, apakah kepada warga LA waktu itu juga tersaji pengerjaan masstrans yg acak2an.

Itulah yg dirasakan warga PI ttg busway. Di tmpat lain (kmpng melayu/otista, yos sudarso dll) acak2an & bahkan nyaris tanpa solusi. Warga hanya diminta unt menerima acak2an itu tanpa protes.

Mgkin sekarang inilah saatnya kita semestinya bisa agak lebih dingin dlm menyikapi mereka yg mempersoalkan acak2annya busway.

Mereka tak/belum tentu anti busway atau penganut NIMBY. Mereka hanya mempersoalkan pelaksanaan yg acak2an itu.

Bhw ada warga lain yg ok2 saja dg neraka busway yg saat ini terjadi, itu tak bisa dipakai sbg jaminan bhw org lain (warga PI) harus sama dg mereka.

Hemat sy, sekiranya pelaksanaannya itu ok, mereka juga ok2 aja. Mreka tak akan mngusung amdal, pasang portal atau class action segala.

Dan yg juga penting, mgkin kita pun juga tak perlu repot2 menuduh/mencurigai mreka sbg arogan, org kaya yg tak mau berkorban, penganut NIMBY dll.

Dewi Susanti mengatakan...

NIMBY yang dikaji oleh Mike Davis di LA muncul berkaitan dengan rencana pengaturan perkembangan kota, yang berkaitan dengan pengurangan kepadatan kota dan terutama peruntukan tanah. Memang tidak berkaitan dengan masalah dibangunnya transportasi publik, namun bukankah masalah busway juga sebenarnya berkaitan dengan masalah peruntukan tanah? Perlu dicatat pula bahwa LA termasuk salah satu kota di Amerika yang transportasi publiknya tidak berjalan dengan baik, dan oleh karena itu juga dirundung dengan permasalahan kemacetan yang sangat merugikan perekonomian kota tersebut.

Kembali ke masalah busway di Jakarta, saya setuju bahwa pelaksanaan pembangunan koridor busway dapat lebih direncanakan dengan baik, dengan sosialisasi, perencanaan jalur-jalur alternatif untuk menanggulangi imbas beban jalan, pembentukan sistem jaringan transportasinya, dan pembangunan yang bertahap.

Anda juga benar bahwa warga Pondok Indah tidak/ belum tentu anti busway, tapi sebaliknya, mereka juga tidak/ belum tentu hanya mempersoalkan pelaksanaan pembangunan koridor busway yang acak-acakan.

Namun bagi saya hal yang menarik adalah kenyataan bahwa protes terhadap busway justru dimulai oleh warga Pondok Indah. Fakta bahwa mereka mengusung masalah amdal dan class action membuktikan bahwa mereka melek terhadap pengetahuan tentang peraturan umum dan hukum, sehingga mampu mengadakan protes yang terorganisir, terliput oleh media, dan terdukung oleh gugatan-gugatan hukum yang menunjang protes mereka. Semua ini tentunya tidak lepas dari fakta bahwa mereka meluangkan waktu dan kemungkinan besar dana untuk melangsungkan protes-protes tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah mereka melakukannya untuk kepentingan umum, ataukah sebenarnya ada motif-motif pribadi dibelakangnya?

Saya rasa kita tidak akan tahu motif yang sebenarnya di balik protes warga Pondok Indah sehubungan dengan pembangunan koridor busway di daerah tersebut, karena hanya warga yang ikut proteslah yang tahu. Saya selalu curiga dengan orang-orang atau kelompok-kelompok yang mengusung kepentingan umum sebagai faktor pendorong suatu kegiatan, terlepas dari siapa pun dan latar belakang apa pun orang atau kelompok tersebut berasal. Saya rasa terlalu naïf untuk beranggapan bahwa motif-motif sosial/ umum/ kelompok/ rakyat tidak memiliki latar belakang motif-motif pribadi.

Bahkan seorang Arundhati Roy, dalam bukunya “Algebra of Infinite Justice”, mengakui bahwa ketamakan seorang penulis lah yang membawanya ke daerah Narmada di India, dimana terjadi pembangunan bendungan yang menggusur ratusan ribu penduduk daerah itu. Tulisnya: “I was drawn to the valley because I sensed that the fight for the Narmada had entered a newer, sadder phase. I went because writers are drawn to stories the way vultures are drawn to a kill. My motive was not compassion. It was sheer greed” (Roy2002: 49).

Anonim mengatakan...

*** Pertanyaannya adalah, apakah mereka melakukannya untuk kepentingan umum, ataukah sebenarnya ada motif-motif pribadi dibelakangnya? ***

Soal kepentingan umum itulah yg selalu diidentikkan dg busway. Tp bagaimana kepentingan umum itu dilaksanakan tak dipersoalkan.

Yg mempersoalkan pelaksanaan kepentingan umum kemudian malah dituduh sebagai anti kepentingan umum. Contohnya, ya apa yg "diderita" warga PI itu.

Bhw warga PI demo, menuntut amdal, pasang portal gila2an, menggugat dan bahkan class action, itu mmg fakta.

Tapi adalah fakta pula bhw cap anti kepentingan umum pda warga PI pun scr luar biasa diproduksi dan didistribusikan oleh berbagai pihak yg semestinya bisa lebih dingin menyikapinya.

Dan cap itu diberikan pada warga PI hanya gara2 mreka mempersoalkan pelaksanaan kepentingan umum. Inilah yg menurut sy sangat luar biasa.

Dewi Susanti mengatakan...

Apakah Anda yakin benar kalau protes warga PI benar-benar dilatarbelakangi oleh kepentingan umum? Siapakah yang Anda maksud dengan umum disini?

Saya saja mempertanyakan proyek busway benar-benar dilatarbelakangi oleh kepentingan umum (dalam arti mayoritas masyarakat). Di Indonesia yang perkembangan biasanya berjalan dengan sangat lambat, bagi saya cukup mengagetkan bahwa dalam waktu yang sangat singkat, pembangungan koridor-koridor busway dilaksanakan dengan sangat cepat dengan menggunakan semen yang sangat banyak (dan tentunya sangat mahal). Kepentingan siapakah yang berada di belakang ini?

Anonim mengatakan...

Sy tak menyatakan, protes warga PI berdasarkan kepentingan umum. Yg sy qoute adalah penyataan anda yg mempertanyakan apakah protes itu demi kepentingan umum.

Nah berdasarkan itu kemudian sy mengomentarinya. Anglenya adalah istilah kepentingan umum itu, yang oleh banyak pihak selalu diidentikan dg busway. Busway adalah kepentingan umum.

Bagaimana kepentingan umum itu dilaksanakan tak banyak dipersoalkan. Malah yg mempersoalkan, dlm hal ini warga PI, divonis sbg anti kepentingan umum.

Itu yg sy tulis dlm komentar sy sebelum komentar ini.

Dewi Susanti mengatakan...

Maaf, tanggapan saya berkaitan dengan posting di blog Anda ini, terutama bagian akhir: "Apa sih yang masih bisa diharapkan, jika warga [Pondok Indah] yang mempersoalkan pelaksanaan kepentingan umum langsung divonis sebagai setan anti kepentingan umum?"

Dari pernyataan itu saya menyimpulkan bahwa Anda beranggapan protes warga PI adalah didasari oleh pelaksanaan kepentingan umum. Maksud dari komentar saya adalah: saya mengakui bahwa klaim saya tentang kemungkinan NIMBYisme adalah pendapat saya pribadi, yang mungkin terlalu jauh juga dugaan negatif ini.

Tapi saya mendapatkan kesan bahwa Anda mengetahui pasti bahwa latar belakang protes warga PI adalah didasari oleh kecarutmarutan pelaksanaan pembangunan koridor busway. Yang ingin saya klarifikasikan/ tanyakan kepada Anda hanyalah apakah ini merupakan proyeksi pendapat Anda ataukah memang Anda mengetahui warga PI berpendapat demikian?

Anonim mengatakan...

Trimakasih. Sy mengetahui protes warga PI dari kabar yg selama ini ada di media massa, juga dr bbrp teman di sana.

Sy menangkapnya, mereka tidak anti busway. Tp mreka mempersoalkan berbagai hal yg mnrt hemat sy bisa dikategorikan sbg pelaksanaan pengerjaan busway. Misalnya, soal amdal, aspal merah/bukan cor2an beton dsb.

Bahwa mreka kemudian demo, class action atau pasang portal gila2an, itu hanyalah bagian dari keinginan mereka agar pihak lain mendengar persoalan pelaksanaan pengerjaan busway yg mreka persoalkan.

Sekiranya itu benar, kan jadinya celaka sekali, warga yg hanya mempersoalkan pelaksanaan pengerjaan busway (kepentingan umum) langsung divonis sbg anti busway (kepentingan umum).

Lebih serem lagi, warga PI selama ini terlanjur diyakini sbg org2 kaya. Artinya kan org2 kaya yg anti kepentingan umum.

Jika cap serem2 itu dilansir oleh para petinggi negara, bisa dimaklumilah. Tp jika pihak lain (masy civil?) juga ikut2an "panas", wah... mbok klo bisa janganlah.

Sekali lagi trimakasih. Juga diperkenankannya sy menyuarakan kecemasan sy di blog anda.

Dewi Susanti mengatakan...

Terima kasih atas penjelasannya. Setahu saya, pemasangan portal di daerah Pondok Indah sudah berlangsung selama beberapa tahun belakangan ini. Pemortalan daerah perumahannya makin lama makin ketat sehingga sangat menyulitkan orang luar yang jarang mengunjungi daerah perumahannya untuk menemukan jalan masuk mencari sebuah alamat.

Saya rasa karena harga rumah dan tanah di daerah Pondok Indah memang termasuk yang paling mahal di Jakarta, maka secara otomatis pemilik ataupun penyewa rumah di daerah itu tentunya mampu. Sepengetahuan saya juga banyak sekali pejabat negara, pengusaha terkenal, dan orang-orang terkenal lainnya (walaupun tentunya juga lebih banyak orang-orang 'biasa') yang tinggal di daerah itu, sehingga bagi saya tidak mengherankan protes terkeras justru muncul dari orang-orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan dana.

Saya rasa poin yang ingin Anda ajukan cukup beralasan, dimana dari sekian banyaknya cercaan kepada sikap masyarakat di Pondok Indah, terdapat kemungkinan bahwa mereka melakukan itu semata-mata karena protes terhadap cara pelaksanaan pembangunan koridor busway, dan bukan sekedar anti busway. Saya rasa kesamaan yang bisa disimpulkan dari diskusi kita adalah, jangan mudah percaya begitu saja dengan apa yang kita dengar dan baca :)

Anonim mengatakan...

ah, masalah PI kan karena politisasi pendapat yg dimanfaatkan politikus2 dadakan yg mencari simpati dan empati dari rakyat kebanyakan yg notabene mempunyai level penghasilan dibawah warga PI. Targetnya adalah biar dibilang mebela rakyat banyak, dan secara politis itu pasti menguntungkan. Sama seperti ex presiden wanita kita yg bisanya salah2in pemerintah sekarnag, trus bilang ke orang2 lain (baca: rakyat kecil yg dikunjungi dalam safarinya) kalo pemeintah gak becus.

Coba anda baca kompas online hari ini, akhli waris tol ulujami masih 'menduduki' tol sudah 3 hari ini. Kenapa tidak ddisuarakan ?? apakah karena ada mafia tanah ?? atau rakyaknya sudah pasti kalah (wong tol nya dah jadi mulus... gak berbentuk tanah lagi).

Soal polisi tidr, portal, itu bukan monopoli warga PI. Merekahanya butuh ketenangan, portal itu jadi hal yg wajar ketika keamanan dan kenyamanan tidak dapat diberikan oelh pemerintah yg telah 'kita' biayai melalui pajak ini. WOng saya aja kemarin ikutan nye-men portal biar aman, gak ada maling, orang kalo mau lewat ditanya dulu. hahahahha ....

buat saya, protest warga PI itu membuka mata orang banyak, kita bisa melihat sebuah sandiriwara babak baru dalam kehidupan bernegara dan kehidupan horisontal sesama warga negara.

btw, jika memang setuju portal dicabut, ya mbok bantu saya tolong cabut portal di jalan yg dijaga preman2 itu. Soalnya kalo mau dibukain portalnya, mesti bayar nih :)

Dewi Susanti mengatakan...

Memang portal bukan cuma monopoli warga PI. Dimana-mana sekarang ada portal, yang seperti kata Anda, biarpun sebenarnya jalanan aman dan tidak ada maling, agaknya portal sudah menjadi bagian dari kebutuhan psikologis warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Justru bagi saya portal dan polisi tidur merupakan bukti kesimpangsiuran pengaturan lingkungan di Indonesia, karena semuanya jadi main atur saja. Mungkin karena memang tidak ada yang mengatur, jadi masyarakat semuanya main atur sendiri dengan peraturan siapa kuat dia menang. Ini mungkin akibuat perkembangan kota-kota di Indonesia yang kebanyakan juga bersifat tambal sulam saja.

Raynata... mengatakan...

Mungkin pendapat saya ini bukanlah sesuatu yang berbobot seperti yang lainnya...tapi saya hanya mencoba berbagi cerita dari teman-teman saya yang bermukim disana (karena saya memang tinggal di kawasan Selatan Jakarta jadi lumayan kenal daerah itu..)..

Cerita pertama:
Teman saya kuliah di bilangan Cilandak...dan tinggal di pondok indah..dia butuh paling tidak 1 jam untuk mencapai Cilandak yang notabene tidak sampai 10km dari tempatnya...

Cerita kedua:
pengakuan pemilik toko bahan bangunan di seberang Jakarta International School..dia ingin mengantar setengah truk pasir ke jalan alam segar...dan ternyata proses pengiriman mencapai waktu 3 jam pulang pergi, padahal jaraknya tidak sampai 5km...

cerita ketiga:
warga bukit golf untuk sekedar menyebrang ke jalan Kartika Alam saja mmebutuhkan waktu minimal 20 menit untuk menempuhnya...padahal cuma menyebrang jalan...

dan masih ada beberapa cerita lucu nan ajaib yang berseliweran di sela-sela pembicaraan kami tentang keseharian kami...

jadi misalkan...seseorang untuk melewati 3 rumah saja butuh 15 menit...bahwa mereka sudah sangat tidak leluasa dan terganggu mobilitasnya (macet dimulai dari gerbang rumah)...menurut saya masih sah saja untuk melancarkan protes...pembuatan portal itu mungkin sangat arogan,saya akui itu...tapi kalau mereka butuh ketenangan, tidak salah juga bukan? Lalu, perintah pemda untuk membongkar semua portal itu secara paksa bisa dibenarkan? jawabannya juga tidak menurut saya...masalah ini sudah terlalu runyam menurut saya...membuat banyak segi kehidupan terganggu..bahwa Jakarta sudah tidak nyaman...itu sangat jelas...saya lebih memilih tetap tinggal di rumah saya di daerah yang sangat pinggiran (bahkan kerap dijuluki negara belum merdeka di kampus)..jauh dari gemerlap kota...tapi saya masih bisa kemana-mana naik sepeda saya...

tapi apakah mau tinggal diam? apakah mau pasrah saja? yah...walaupun motivasi itu tidak akan pernah murni, paling tidak mereka sudah mencoba untuk menggugat dan menyadarkan bahwa banyak hal yang dilanggar dalam pembangunan busway ini...meskipun di belakangnya masih banyak motivasi lain...saya masih percaya kalo mereka masih menuntut berdasarkan bukti dan bisa jadi pemicu agar masyarakat sadar bahwa banyak segi kehidupan yang dilanggar dalam pembangunan ini...

semoga semuanya bisa lebih baik...
just let me wish :)

regards..

Raynata... mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Dewi Susanti mengatakan...

Menarik juga sebetulnya untuk melakukan studi pengaruh pembangunan koridor busway terhadap lalu lintas di sebuah daerah sebelum dan sesudah adanya koridor, karena dari situ mungkin bisa terlihat bahwa ternyata masyarakat di sekitar PI memang terkena dampak paling besar dari segi waktu yang terbuang akibat kemacetan, dibandingkan seluruh daerah di Jakarta. Siapa tahu memang ini kasusnya. Tapi karena belum ada yang melakukan studi ini, semuanya jadi hanya bersifat dugaan, termasuk posting saya tentang NIMBYism :)

Raynata... mengatakan...

Yup...tapi jelas pembangunan beberapa koridor sekaligus merupakan kebijakan yang sangat tidak bijaksana..terlalu dipaksakan...terlalu banyak ambisi dan keserakahan di dalamnya...

faktanya, kehidupan kita sudah sangat terganggu...bahwa dari rumah saya ke Kemang dan dari rumah saya ke Bandung ternyata membutuhkan waktu tempuh yang hampir sama...ini jelas sudah tidak benar menurut saya dan benar-benar mengganggu kehidupan...

kebijakan penggunaan busway sebagai sistem yang ingin diterapkan pun terkesan sangat gegabah menurut saya...dan kecenderungan pemerintah untuk selalu menyalahkan perilaku masyarakat sungguh tidak terpuji dalam hemat saya....

Dewi Susanti mengatakan...

Sistem busway di Jakarta mengambil model transportasi umum yang sangat berhasil di Bogota. Tapi sayangnya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan sistem transportasi tidak dilakukan dengan baik di Jakarta, sehingga sekarang jadi amburadul. Saya rasa kurangnya perhatian pada detil, yang saya bahas pada posting yang lebih baru ini bisa menjelaskan sebagian dari pokok permasalahan.

Raynata... mengatakan...

Sekedar berbagi pengalaman aja bu...beberapa waktu belakangan, setelah saya benar-benar capek dengan keadaan lalu lintas..saya memutuskan untuk pergi ke beberapa tempat menggunakan kendaraan umum seperti anjuran pemerintah...

Pengalaman saya...semuanya berantakan...Sebenarnya saya pengguna angkutan umum yang setia...dan kalau masalah menunggu halte di bus...sempit-sempitan dan berdiri selama 1 jam..itu ga ada masalah buat saya...tapi yang belakangan ini benar-benar parah bu...

Bayangkan..saya ingin menggunakan busway ke Grogol dari Harmoni.. (pindah koridor)...saya harus menunggu bus transjakarta itu sampai 1.5 jam...ini benar-benar tidak logis buat saya...bahkan bila dibandingkan dengan kendaraan umum seperti bus Patas sekalipun...akhirnya setelah menunggu 1.5 jam,bus tersebut datang..tapi karena disana jumlah orang yang menunggu sudah overload...jadilah penantian 1.5 jam itu menjadi sia-sia...dan keluhan ini pun akhirnya dibagi antar sesama penunggu bus di halte itu...banyak pegawai kantor di bilangan sudirman-kuningan yang menunggu di halte itu...mereka memutuskan untuk mengalah dengan anjuran untuk mengurangi volume kendaraan..tapi ternyata yang terjadi seperti ini...apalagi jalan-jalan di pondok indah semua lampu jalannya tidak menyala...dan ini sangat mengganggu untuk kenyamanan dan keamanan berkendara (saya melaluinya dengan menggunakan motor bersama seorang teman), terutama di kala hujan...karena banyak rumah yang di samping jalan utama sudah mulai kosong...

memang perhatian pemerintah terhadap detail sudah tidak tertolong lagi..benar-benar reckles...musti tunggu didemo atau ada kejadian parah (seperti kejadian di Ratu Plaza dan ITC Permata Hijau?) mungkin mereka baru mau bertindak...

Dewi Susanti mengatakan...

Bagi saya masalahnya adalah sepertinya ada anggapan bahwa sistem busway itu hanya masalah penyediaan koridor. Begitu infrastruktur fisiknya sudah selesai, dianggap sudah selesai. Padahal infrastruktur hanyalah awal saja, sementara manajemennya justru lebih penting untuk terjadinya sistem transportasi yang efisien dan efektif. Apalagi kalau bus-nya kurang, maka tidak ada gunanya lagi koridor dan sistemnya :))