Senin, September 03, 2007

Memaknai Kota

Dalam "Kota, Waktu, Puisi" (2007), Goenawan Mohamad menuliskan keterkaitan antara ketiga elemen tersebut, dengan mengkaji puisi Chairil Anwar: “… ada yang jadi rutin dalam sebuah keadaan di mana apa yang alamiah dan purba (hujan dan Ajal) telah kehilangan pesonanya di antara benda-benda teknologi (trem, lampu jalan), yang juga ditongkrongi sebuah tata yang sudah pasti (dengan halte sebagai penanda)."

Henri Lefebvre, dalam "Production of Space" (1991), mengamati bahwa "salah satu akibat dari ruang (sosial) sebagai produk (sosial) adalah kenyataan bahwa ruang (fisik) alamiah menjadi hilang, tidak hanya dari pandangan, tapi juga dari pemikiran" (hlm. 31-32).

Mungkinkah karena ini keberadaan di kota menjadi kurang bermakna sehingga makna kota harus dicari dan bahkan dicari-cari? Ketika lingkungan berkehidupan (di kota) merupakan sebuah lansekap hasil konstruksi dan pemikiran manusia, bukankah manusia pula yang kemudian harus memaknai perbuatannya?

Disinilah kemudian muncul berbagai kepentingan. Perbuatan siapakah yang patut dimaknai? Apakah perbuatan para perencana? Ataukah pemerintah maupun klien yang memprakarsai dan membiayai pembangunan? Lalu bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang justru menggunakan ruang yang terbangun - dan kadang malah meninggalkan keterbangunan yang telah direncanakan (karena, kembali mengutip Mohammad, "sebuah peta adalah sebuah hasil reduksi, dan sebuah rencana selalu mengandung represi”) untuk memaknai ketidaksengajaan yang terjadi diantara keterbangunan-keterbangunan?

Catatan: Foto di atas adalah dekorasi sebuah fasade bangunan, yang sepertinya memiliki fungsi untuk mengkaitkan lampu gantung, namun yang kemudian dialihfungsikan menjadi tempat untuk mengamankan botol minum milik pedagang kaki lima yang berjualan di depan bangunan.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya masih ingat dengan artikel Goenawan Mohamat yang anda maksudkan, kalau tidak salah itu tribut untuk Pak Zhong, mantan dosen saya. Saat itu, yang menarik bagi saya adalah studi kota Shanghai yang seakan meninggalkan ke-oriental-nya menuju kesegala sesuatu yang kebarat-baratan.
Kalau dirunut dari studi kota Shanghai ini, sepertinya pihak yang memegang peran dalam memaknai kota adalah pemerintah yang berkuasa di saat itu. Bagaimana menurut ibu?

Dewi Susanti mengatakan...

Saya kurang begitu tahu tentang perkembangan kota Shanghai untuk dapat menjawab pertanyaan yang Anda ajukan secara spesifik. Tapi saya rasa untuk kebanyakan negara sedang berkembang, peran pemerintah dalam memaknai kota sangat berpengaruh memang, seperti kasus Jakarta dan diskusi di posting ini :)

Anonim mengatakan...

Studi tentang metropolitan China yang saya pelajari hanyalah terbatas tentang Beijing, yang sedikit berbeda dengan Shanghai. Ketika itu banyak membahas tentang hutong.
Ada fakta yang cukup menarik mengenai pudarnya hutong, yang ternyata disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan. Saat itu ledakan penduduk yang menjadi penyebabnya. Ternyata setelah tahun 1949 hingga 1991, 90% hunian bertingkat (rusun) dibangun diatas lahan bekas hutong. Konon, masyarakat di Beijing tanpa campur tangan pemerintah saat itu, secara sadar mengganti hutong dengan rusun.

Dewi Susanti mengatakan...

Saya kadang merasa bahwa pembangunan dan pemindahan penduduk kampung ke rusun di Indonesia terlalu dipolitisir. Memang dalam satu sisi kebanyakan rusun (di negara-negara sedang berkembang) akhirnya tidak ditinggali oleh orang-orang yang ditargetkan, karena mereka ini tidak mampu menyewa/ membeli, sehingga akhirnya terjadi alih tangan ke kelompok ekonomi yang lebih mampu.

Tapi di sisi lain, saya rasa ini juga tidak bisa sepenuhnya menjadi alasan penolakan mentah-mentah terhadap rusun. Karena bagaimana pun, akan ada sebagian kecil dari masyarakat (yang mampu tentunya) yang memilih untuk pindah, karena akan memiliki tempat tinggal yang aman dari ancaman penggusuran maupun (mudah-mudahan) banjir. Saya rasa untuk kasus Indonesia adalah tidak adanya pilihan lain (atau tidak tahu adanya pilihan lain?) selain rusun atau kampung kumuh. Masyarakatnya sendiri jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tentang kehidupan yang mereka inginkan. Yang ada adalah upaya-upaya dari pihak-pihak tertentu untuk membuat mereka menerima atau menolak rusun.

Anonim mengatakan...

Mengenai rusun ini, ada satu cerita menarik. Dharavi, yang disebut-sebut sebagai the biggest slum in Asia, yang ternyata berada dipusat kota Mumbai. Mereka sudah berada disana hingga 3 generasi. Apakah ibu familiar dengan studi Dharavi? Dharavi ini adalah contoh unik, ketika pemkot menyediakan rusun gratis bagi para penghuni daerah kumuh, dan berada relatif dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka saat ini. Namun yang ada, para penduduk menolak untuk pindah. Sebuah studi yang cukup menarik.

Dewi Susanti mengatakan...

Saya tidak tahu tentang Dharavi sebelumnya. Terima kasih atas rujukannya.