Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyatakan pentingnya pengembangan keingintahuan dan kemampuan berpikir secara fleksibel, kreatif, dan inovatif dalam penerapan kurikulum berbasis kewirausahaan. Tujuan ini positif karena definisinya tidak bersifat sempit semata-mata untuk mencetak lulusan siap kerja saja, namun juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, beradaptasi, dan mereka cipta. Kemampuan ini diharapkan akan meningkatkan keunggulan sumber daya manusia
Walaupun demikian, ada dua catatan penting. Yang pertama adalah keterbatasan visi pendidikan berbasis kewirausahaan dan kejuruan, dan yang kedua adalah kesalahkaprahan strategi yang terpaku pada perubahan bentuk dan kurikulum, bukan pada apakah dan bagaimana guru dapat mengembangkan kurikulum dan memperbaiki proses pembelajaran untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Keterbatasan pendidikan berbasis ekonomi
Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum berbasis kewirausahaan terkait kuat dengan program peningkatan kinerja ekonomi kreatif
Sebuah pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apakah pengaruh pendidikan berbasis ekonomi bagi masa depan
Kembali ke
Kewirausahaan merupakan salah satu kemungkinan hasil, namun kewirausahaan tidak seharusnya menjadi satu-satunya tujuan bagi pembelajaran kemampuan tersebut. Kurikulum berbasis kewirausahaan, maupun pendidikan kejuruan yang akan dibahas pada bagian selanjutnya, bukanlah garansi bagi terjadinya pengembangan kemampuan berpikir seperti yang diharapkan oleh Mendiknas. Namun proses pembelajaran yang tepat lah yang akan menumbuhkan kemampuan tersebut. Perubahan kurikulum yang tidak disertai dengan pembekalan peningkatan ketrampilan guru dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran niscaya akan sia-sia.
Pendidikan berbasis luas
Kedua, tujuan pemerintah untuk merubah perbandingan komposisi SMA dan SMK merupakan tindakan reaktif yang dapat berdampak negatif di kemudian hari. Sebuah studi oleh Newhouse dan Suryadarma (2009) tentang pendidikan kejuruan di Indonesia memaparkan analisa data survai kehidupan keluarga Indonesia selama 14 tahun, yang hasilnya tidak mendukung kebijakan pemerintah. Minat siswa terhadap sekolah kejuruan menurun dari 1.6 juta pada tahun 1999 menjadi 1.2 juta pada tahun 2006.
Pendidikan kejuruan, dibandingkan dengan pendidikan umum, melatih kemampuan dan memberikan pengetahuan terbatas, sehingga dasar pengetahuan dan kemampuan siswa untuk beradaptasi juga terbatas. Akibatnya, efek positif pendidikan kejuruan terhadap produktifitas kerja dan pendapatan lulusannya diperkirakan berkisar pada usia 20 sampai 35 tahun. Efek ini mulai menurun pada usia 30 tahun, dan menjadi negatif setelah usia 40 tahun (Newhouse dan Suryadarma, 2009).
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia
Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 2 di Kecamatan Merlung, Tanjung Baru Barat, Jambi, penulis menemui sebuah bentuk unik kerja sama pemerintah dan swasta. Porsi muatan lokal kurikulum di daerah yang mayoritas penduduknya memperoleh penghasilan dari perkebunan sawit dikembangkan bersama dengan perusahaan nasional yang beroperasi di daerah setempat, yang menyumbangkan sumber daya manusia terbaiknya sebagai pengajar.
Muatan lokal kurikulum dikembangkan tidak hanya agar siswa mendapatkan pengetahuan mengenai perkebunan sawit dan perbaikan produktifitasnya dari segi teori dan praktek, namun juga dilengkapi dengan komponen sejarah, biologi, dan ekonomi yang terkait dengan perkebunan sawit.
Upaya awal ini tentunya dapat dikembangkan dengan membekali pengajarnya dengan pendekatan pembelajaran interdisciplinary yang mengembangkan kemampuan berpikir siswa, sehingga keterkaitan antara muatan lokal dengan bidang keilmuan lainnya dapat disinergikan dengan lebih baik. Secara komprehensif, pendidikan berbasis luas dengan pendekatan pembelajaran interdisciplinary akan membuat siswa menyadari relevansi dan manfaat ilmu dan pendidikan bagi kehidupan sehari-hari, komunitas lokal, dan permasalahan bangsa, lingkungan dan dunia.