Dalam perjalanan menuju sebuah universitas untuk menjadi
reviewer untuk sebuah studio perancangan arsitektur, saya mendengarkan siaran radio yang membahas mengenai komisi khusus apa yang semestinya dibentuk oleh Presiden SBY sekembalinya dari kunjungan ke Amerika. Cukup banyak pemirsa yang mengajukan ide-ide pembentukan komisi khusus pemberantasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi.
Yang menarik perhatian saya adalah penggunaan kata pemberantasan dalam kaitannya dengan kemiskinan dan korupsi, dan kemungkinan pengartiannya. Arti pemberantasan adalah peniadaan, pembasmian. Yang bagi saya menjadi permasalahan adalah pada saat pemberantasan korupsi dan pemberantasan kemiskinan disamaratakan artinya dengan pemberantasan hama.
Apabila obyek pemberantasan adalah hama, maka tujuannya adalah untuk meniadakan dan membasmi hama, yang cara-caranya diharapkan dapat berakhir dengan kematian hama. Dalam konotasi yang sama, pemberantasan korupsi bertujuan meniadakan dan membasmi praktek-praktek korupsi dan pelaku-pelaku korupsi. Namun apakah diharapkan berakhir dengan kematian pelaku-pelaku korupsi? Mungkin sebagian orang akan berpendapat ya, dan sebagian lain berpendapat tidak – dan disinilah perdebatan terjadi.
Lalu bagaimana dengan pemberantasan kemiskinan? Apakah pemberantasan kemiskinan bertujuan meniadakan dan membasmi praktek-praktek yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, ataukah justru meniadakan, membasmi, atau bahkan mematikan orang-orang miskin?
Ya, apabila kata pemberantasan disamaratakan artinya terlepas dari obyek yang menspesifikkan predikat pemberantasan, terlepas dari apa atau siapa dan bagaimana cara peniadaan, pembasmian, dan pematian itu dilangsungkan.
Lalu apa masalahnya? – mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya. Bukankan masalah pemberantasan kemiskinan dapat secara harafiah diartikan sebagai peniadaan dan pembasmian kemiskinan dengan melangsungkan undang-undang yang melarang keberadaan orang-orang miskin di kota (dengan tujuan untuk mematikan mereka)? Apakah ini bentuk pemberantasan kemiskinan yang diharapkan masyarakat Indonesia? Saya harap tidak.
Melarang keberadaan orang-orang miskin di kota tidak menyelesaikan masalah.
Salah satu mahasiswa dalam studio perancangan arsitektur yang saya review, menggunakan undang-undang larangan tinggal di sepanjang rel kereta api sebagai pembenaran untuk menyingkirkan keberadaan komunitas ilegal di daerah tersebut karena toh mereka dilarang oleh pemerintah dan hanya menunggu waktu untuk digusur.
Mentalitas dan moralitas semacam ini yang bagi saya sangat mengkhawatirkan, bukan saja karena sikap seperti ini sangat menggampangkan permasalahan, namun yang terutama karena penyelesaian permasalahan hanya ditujukan pada kesan terselesaikannya masalah kemiskinan, bukan pada kenyataan bahwa masalah kemiskinan memang sudah terselesaikan. Dengan upaya mencapai kesan, kenyataan permasalahan yang sebenarnya disembunyikan, seakan-akan tidak ada.
Saya jadi teringat apa yang disebutkan oleh Somsook Boonyabancha dalam lokakarya yang dilangsungkan bulan Juli lalu oleh Institute for Ecosoc Rights. Beliau menyatakan bahwa dinamika perubahan masyarakat dan permasalahannya muncul lebih cepat daripada solusi dan sistem dapat ditemukan dan dibentuk.
Bukankah sangat mungkin untuk menggunakan jeda ruang dan waktu antara kenyataan dan harapan maupun peraturan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan dengan menyediakan ruang bagi keberadaan orang miskin di kota?
Saya rasa sangat mungkin. Yang dibutuhkan adalah sikap untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada semua orang, dan upaya untuk menyelesaikan masalah secara nyata, sampai ke akarnya. Bukan sekedar kesan bahwa ada upaya penyelesaian masalah kemiskinan (atau korupsi) namun sebenarnya hanya menyembunyikan kenyataan. Seperti api dalam sekam, permasalahan kemiskinan terus membakar perlahan-lahan di bawah permukaan, sampai tiba-tiba ia membara dengan penuh amarah. Apakah ini yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia? Saya harap tidak.
Catatan Foto: Komunitas ilegal Wat Chong Leom yang tinggal di sepanjang rel kereta api di Bangkok. Setelah berjuang selama beberapa tahun dengan bantuan Four Regions Slum Network, mereka keberadaan mereka pada akhirnya diakui dan difasilitasi oleh negara.