Minggu, Desember 09, 2007

Taman Mini Indonesia, Indah?


Apakah pengantin pria dari Sumatera Utara menggunakan kaos kaki panjang pada saat duduk di pelaminan mengenakan baju adat lengkap? Apakah rumah adat Padang dihiasi oleh lukisan-lukisan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari penduduknya? Apakah rumah adat Nias memiliki jendela dengan jalusi yang terbuat dari kaca?

***

Sudah puluhan tahun saya tidak berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ingatan saya terhadap tempat ini banyak dibumbui oleh romansa memori ketika saya masih kecil dan berkunjung bersama keluarga besar ke Keong Emas. Dalam memori saya, kompleks TMII sangat luas – keluasan yang tidak sanggup dijalani oleh kedua kaki kecil saya. Minggu lalu, pada saat saya berkunjung ke TMII untuk mengajak seorang teman, orang India yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, ternyata kompleks ini tidak seluas yang ada dalam ingatan saya. Agaknya ingatan dan besaran diri sangat mempengaruhi kemampuan kita dalam menduga sebuah skala ruang.

Saya memutuskan untuk mengajak teman saya ke TMII, karena bagaimanapun juga, kekayaan kebudayaan Indonesia dapat terlihat sekilas disana, tentunya dengan harapan teman saya ini jadi lebih tertarik untuk mengunjungi pulau-pulau darimana kebudayaan yang dipaparkan berasal. Selain itu, kemana lagi di Jakarta saya dapat membawa seorang pengunjung yang sangat ingin melihat kebudayaan Indonesia?

Perjalanan kami dimulai di Anjungan Sumatera Utara. Pada saat memasuki bangunan utama saya sempat berlega hati dan bahkan cukup terkesan karena ternyata berisikan barang-barang kerajinan, peralatan keseharian, pakaian pengantin dari berbagai kelompok masyarakat di Sumatera Utara, dan replika beberapa singgasana pengantin. Demikian juga teman saya merasa terkesan dan mulai menceritakan tentang kesamaan-kesamaan dengan kebudayaan yang dimiliki oleh beberapa daerah di India.

Namun kesan pertama itu ternyata tidak bertahan lama, setelah kami melihat dari dekat hal-hal yang mungkin tidak akan dipermasalahkan oleh kebanyakan orang, namun sangat mengganggu bagi seorang yang sangat memperhatikan detil seperti saya. Beberapa contoh adalah:

1. Pengantin pria dari Sumatera Utara yang menggunakan kaos kaki panjang pada saat duduk di pelaminan mengenakan baju tradisional lengkap.

2. Rumah adat Padang yang dihiasi oleh lukisan-lukisan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari penduduknya.


3. Rumah adat Nias yang memiliki jendela dengan jalusi yang terbuat dari kaca.


4. Tulisan yang menjelaskan rumah adat Nias (sama seperti aslinya, termasuk kesalahan ejaan, tata bahasa, dan peletakan tanda baca):

Rumah adat Nias
Bentuk rumah adat Nias ini disebut si Ulu yang terdapat di kampung Bawo Mataluo. Bentuk rumah si Ulu pada umumnya diapit oleh rumah si Ila-Ila, kemudian rumah rakyat biasa, rumah si Ulu yang megah dan tinggi berdiri diatas tiang-tiang setinggi kurang lebih 5m. Atapnya terbuat dari atap rumbia, garis tengah dari tiang tersebut kurang lebih 70cm. Demikian pula dengan balok-balok yang terdiri melintang disetiap tiang panjang kurang lebih 30m tanpa sambaungan.

Traditional house of Nias
The shape of Nias house is called si Ulu which found in Bawo Mataluo village. In generally shape of Ulu’s house was hemmed with si Ila-Ila house, then ordinary people house, si Ulu house were glorious and tall standing on the poles as tall as more less seventh metres like wise with the beams was standing across in each pole with the length more less 30m without continuation.


Apabila Anda hanya bisa berbahasa Inggris, apakah Anda (seperti halnya teman saya) akan mengerti apa yang dimaksud oleh teks diatas? Namun mungkin penjelasan ini, maupun detil-detil yang melenceng tidak dianggap penting. Hal ini mengingatkan saya pada argumen Abidin Kusno (2000) tentang TMII:

“… rumah-rumah “tradisional” ini dikonstruksi hanya sebagai simbol yang mewakili semua rumah-rumah dari tipenya. Mereka dirancang bukan untuk diamati secara mendetil namun dibuat untuk dikonsumsi dalam satu pandangan umum dan sekilas. Sebuah impresi menyeluruh diberikan bahwa “di suatu tempat” di Indonesia, terdapat budaya-budaya asli dari bangsa “kita”” (diterjemahkan dari Kusno, Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia, 2000: 76).

Mungkin nama Taman Mini Indonesia Indah juga mencerminkan keadaan Indonesia yang sesungguhnya. TMII merupakan sebuah representasi Indonesia yang sebenarnya walaupun dalam skala kecil, dimana detil dianggap sesuatu yang remeh*, dimana kesan dari kulit luar lebih penting dari isi, dan dimana upaya untuk mengejar kesan ini memunculkan hiper-realitas**. Oleh karena itu patut dipertanyakan, apakah kata indah layak dikaitkan dengan nama tempat ini.

Catatan
* Salah satu contoh adalah pembangunan koridor busway yang dinaikkan atau dibatasi dari jalan untuk kendaraan umum lainnya yang sangat mungkin menimbulkan kecelakaan. Pada saat musim hujan sudah datang, genangan air menutup naikan atau batas antara koridor busway dengan jalan ‘biasa’ sehingga telah terjadi kecelakaan mobil yang terguling akibat tidak terlihatnya batas.

** Istilah hiper-realitas secara sederhana dijelaskan oleh Umberto Eco sebagai upaya yang dengan sengaja bertujuan untuk membuat replika dari sejarah yang telah lalu namun menghasilkan kepalsuan yang terkadang didasarkan pada kenyataan yang tidak pernah ada (Eco, Travels in Hyperreality, 1986: 8).