Rabu, Maret 19, 2008

Cinta Laura: Bahasa, Pendidikan dan Konsep Kebangsaan

Apabila Anda, seperti saya, adalah pendengar radio (terlepas dari berapa sering), maka Anda pasti sudah mendengar iklan radio Telkomsel belakangan ini, yang salah satu cuplikannya adalah (kalau saya tidak salah dengar/ ingat): “Bahasa Indonesia saya buruk sekali, jadi Cinta will be going to Australia to improve Bahasa Indonesia Cinta”.

Pencarian singkat melalui Google (lihat ini dan ini) memberikan informasi bahwa si karakter rupanya meniru (atau memang adalah?) Cinta Laura (baca: Cincha/Chintjha - Lawra/ Lauhra/ Lowrwa), yang menurut Wikipedia Indonesia adalah “salah satu artis keturunan dengan penggunaan Bahasa Indonesia yang buruk sekali”. Namun rupanya ada yang beranggapan bahwa gaya berbicara Cinta justru adalah karakteristik yang men-diferensiasi Cinta dibandingkan artis-artis lainnya, dan memudahkan marketing dan branding seorang persona.

Terlepas dari kelucuan dan hiburan yang diberikan baik oleh bahasa gado-gado Cinta dan iklan Telkomsel, ada dua kekhawatiran yang saling berkaitan, yang muncul sehubungan dengan fenomena ini. Kekhawatiran pertama berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan kebangsaan, dan yang kedua adalah persepsi terhadap pendidikan yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Kekhawatiran pertama terpicu oleh masalah penggunaan bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang penggunaannya secara baik dan benar seharusnya menjadi upaya dan pencerminan identitas dan kebanggaan kita sebagai sebuah bangsa.

Ben Anderson, dalam “Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia” (1990) berargumentasi bahwa dalam Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu pengikat terbentuknya konsep Bangsa Indonesia:

“... it was less nationalism that created a common language than that a common language helped create nationalism” (Anderson, 1990: 199).

Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat yang membentuk dan memperkuat konsep kebangsaan mengalami tantangan belakangan ini dengan semakin pentingnya Bahasa Inggris sebagai bahasa universal di dunia yang terus meng-global, yang membawa kita kepada kekhawatiran kedua.

Belakangan ini, banyak sekolah-sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama dalam proses belajar-mengajar. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi, adanya persepsi yang, dan upaya untuk membentuk persepsi masyarakat agar, menganggap Bahasa Inggris sedemikian pentingnya sehingga dari negara mana asal si pengajar berasal menjadi lebih penting dari latar belakang pendidikan dan wawasan pengalaman si pengajar.

Tidak sedikit sekolah yang mengemukakan ke-ekspatriat-an seorang guru sebagai salah satu (atau mungkin satu-satunya?) keunggulan sebuah sekolah. Pembicaraan dengan seorang rekan yang juga seorang ibu beberapa waktu yang lalu mencerminkan kegelisahannya yang melihat bahwa anaknya yang bersekolah di sekolah berbahasa pengantar Inggris mulai merasa keberatan menggunakan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi karena si anak beranggapan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang lebih rendah dibandingkan Bahasa Inggris.

Cuplikan iklan radio Telkomsel di atas mencerminkan sebuah pandangan yang menganggap bahwa pendidikan di luar negeri (apalagi di Australia, salah satu negara Barat) pasti lebih baik dibandingkan pendidikan di Indonesia, terlepas dari subyek ilmu pengetahuan dan faktor-faktor penimbang lainnya. Namun mudah-mudahan reaksi Anda pada saat mendengar atau membaca cuplikan iklan radio tersebut adalah timbulnya pertanyaan: Belajar Bahasa Indonesia kok ke Australia?

Apakah kedua kekhawatiran ini mencerminkan sebuah kekhawatiran yang lebih besar, bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang rendah diri dimana masyarakatnya tidak memiliki kebanggaan terhadap identitas bangsanya? Mungkin saja, walaupun saya berharap kekhawatiran ini tidak cukup memiliki dasar yang kuat. Bagaimana menurut Anda?